Cinta Tanpa Kelamin

Ya, aku mencintai lelaki itu. Jangan berburuk sangka bahwa ini adalah percintaan sejenis. Bukan, ini adalah cinta tanpa kelamin.

Lelaki yang kucinta itu adalah lelaki yang selalu kurindu. Aku teramat salah kepadanya. Cintaku yang membuta, menjadikan nasipnya nestapa. Aku terlalu cinta, tak kusadari telah terlalu jauh aku mengguncang pribadinya. Aku salah. Aku berdosa.

Cintalah yang menggerakkan aku agar dia mendapatkan cintanya. Namun, mungkin caraku dianggapnya salah. Namun, untuk segala prasangkanya itu kepadaku, dia juga salah. Tak pernah ada di dalam hatiku mencintai wanita yang sedang dicintainya. Tak pernah sekalipun.

Aku dan wanita yang sedang dicintainya itu ditakdirkan sebagai teman. Kepada wanita itu kuberitakan arsiran-arsiran hati yang menggeluti hatinya. Kukatakan dengan tegas, lembut, kadang berbisik betapa lelaki itu sangat mengharapkannya. Aku yakinkan dia, tak akan pernah dia menemukan cinta selembut itu selain dari lelaki itu. Tak ada cinta yang lebih kuat dari cintanya kepada sang hawa.

Aku bingung. Gundah menggunung. Aku merasa teramat bersalah.

Andai engkau tahu wahai lelaki, aku tak mampu menegakkan muka dihadapanmu. Aku menjadi orang yang paling merasa kalah. Bahkan aku tak mampu menjadi jembatan bagi cintamu.

Dan pekikan-pekikanmu yang menyalahkan aku, semakin menyudutkan aku. Aku semakin kehilangan arah. Mukaku terbang di bawa angin. Aku benar-benar teramat bersalah.

Tidak ada yang kusembunyikan darimu. Tidak sesuatu pun. Selain perasaan salah dan kalah.

Engkau bertanya, “jika aku benar mengapa harus merasa bersalah?”

Kesedihanmu, adalah kebersalahanku. Jika demikian, bagaimana aku harus memberi muka?