Seribu tahun. Akhirnya aku menemukanmu.
Dulu sekali. Dulu yang jika diulang terasa begitu singkat. Apa engkau ingat? Ketika saat tangan kita terlepas, padahal jurang itu begitu dalam dan curam. Aku melepaskan genggamanku terhadapmu. Menolak engkau ikut terseret ke dalam pusaran mautku. Ketika bias tetes air matamu malah menyentuh pipiku. Dan dari kabur matamu yang berair, samar, engkau melihat senyumanku. Ingatkah?
Dalam senyum terakhirku. Berdetik sebelum bumi meremukkan seluruh tulang dan sendiku. Teriakku untuk menemukanmu. Di dalam perjalanan hidupku yang tak akan berhenti. Tak ada usai. Aku menolak seluruh nirwana. Menolak menyelesaikan segalanya, demi engkau yang ingin aku temukan kembali.
Perjalanan kadang memang tidak sesuai bayangan. Apa yang telah aku impikan, berbeda jauh dengan apa yang bumi takdirkan. Beratus kelahiran, aku gagal menemukanmu. Kecuali sekarang.
Engkau. Sedetik pun, tak ingin aku melepaskanmu!
Aku melihat seperti waktu yang diputar dengan arah terbalik. Ketika remuk tulang dulu kembali menyatu. Ketika jatuhku menghembas membuatku melayang ke arahmu. Tangan yang terlepas, menjadi terikat. Kuat erat. Seolah tak akan pernah hilang. Aku seperti hidup dalam dunia sepenuh rindu. Kamu.
Menolak jeda. Tak seperti mereka yang berharap penat perjalanan ini terhenti sejenak. Walau cuma seabad adalah cukup. Aku tidak. Kerinduan membuatku menolak jeda. Walau telah menjadi batu, awan, ikan, lautan, bahkan lava pijar yang terlontar. Aku menolak jeda untuk bertemu denganmu. Bahkan, ketika hidup berikutnya engkau telah menjadi lupa. Hatta, tentang aku.
Ingatkah engkau tentang aku? Seribu tahun penantian kita yang begitu singkat. Atau mungkin jadi engkau menjadi lupa. Alpa. Dan jenggah untuk kembali mengulang kisah.
Takdir hadir dalam bentuk perjalanan yang membingungkan. Saat Dia menulis bahwa engkau adalah bagian dari rusukku. Maka Dia menuliskan nama-nama lain dalam rusuk ini. Dan engkau menjadi nama dalam berbagai rusuk yang hadir. Engkaupun menjadi nama dalam rusuk-rusuk yang lain. Hingga kita berdua bingung. Perjalanan bagaimana yang telah kita lalui, sampai kehendak mempertemukan kita kembali.
Bahkan tiap jengkal 40 ribu kilo telah kita tapaki. Hanya saja, waktu mempermainkan. Kadang engkau di Selatan, aku di Timur. Engkau berangkat ke Utara, dan aku mencoba jalan ke Barat.
Jujur. Detak jantung yang dulu aku hapalkan saat dia berdetak di dadamu, telah aku lupakan. Senyummu yang menawanpun tidak juga aku hapalkan. Fisik, tidak pernah menjadi ukuran. Hanya jiwa yang mengerti tentang jiwa, bagaimana dia saling tertaut, bagaimana dia saling mengenali, bagaimana dia saling memahami.
Engkau. Apakah masih mencintaiku? Seperti dulu.
Jika memang telah lupa. Kita bisa memulai kisah yang baru lagi. Atau, engkau memilih lain, mengumpulkan waktu untuk seribu tahun berikutnya. Bahkan jika berulang hingga jutaan, bagiku engkau adalah tetap sama, selalu menjadi cintaku di dalam hati.
Engkau sepantasnya tahu. Aku tak akan pernah khawatir untuk terus menunggu.