Melata Seperti Sundal

Aku makan perempuan itu. Bulat-bulat. Mentah-mentah.

Tidak peduli ujung akhir kisah. Entah dia menangis atau bahagia. Aku tidak memikirkan itu kini, aku cuma memikirkannya.

Bukan salahku, aku tak memaksa. Dia yang berkata iya.

Awalnya seperti ilusi. Antara yakin dan tidak. Dikerumunan aku melihat dia, bagai pualam putih diantara batu nan kokoh. Sayang, dia rapuh.

Semua orang mengira, sangatlah sulit menaklukkan ego wanita, terutama perempuan itu. Aku pun dulu demikian, tetapi semuanya salah.

Dia bodoh. Tertipu. Angkuh namun rapuh. Melata seperti sundal.

Beberapa wanita yang kutemani bersama angin seperti itu. Mereka pintar namun mereka dungu. Dengan kecantikan merasa mampu menaklukkan segalanya, padahal mereka sedang dalam taklukan.

Perempuan itu juga seperti itu. Akhirnya aku makan mentah-mentah.

Robohlah segala senyum saat aku pergi. Baru dia tahu, yang kukatakan cinta tidak pernah sejati.

Dungu. Aku menertawakannya.

Tangis. Aku tak peduli.

Ditunjuk-tunjuknya aku. Memaki. Meludah. Tangannya mendorong-dorong angin di depanku. Ini sudah sangat biasa, aku cuma menyeringai.

Lama setelah itu. Setelah makian itu pudar dari depanku. Setelah tangis itu hilang dari bola matanya. Ku melihat dia telah mampu tertawa. Terbahak. Dia berjalan, melenggok. Melata seperti sundal.

Sundal-sundal awalnya juga seperti dia. Ada yang berkata iya, ada yang menangis ketika waktu pertama itu terjadi. Namun, semua berlalu dengan penyesalan.

Setelah menjadi lacur, mereka bebas tanpa sesal. Beberapa menjadi hewan, merasa sesal mengapa persundalan tidak terjadi jauh lampau, mengapa harus sekarang?

Mencibir. Wanita-wanita pelangi mencibir. Wanita yang kumakan mentah-mentah itu dicibir. Tentang sanggulnya, panggulnya, belahannya, hingga lenggoknya.

Wanita-wanita pelangi merasa suci. Beberapa mereka menutupi, persundalan juga tak luput dari mereka. Hanya belum waktunya saja.

Namun aku yakin bidadari itu ada. Wanita yang terlindung dari persundalan. Wanita yang memakai kokoh baju besi berat yang menyesakkan. Bukan pakaian bulu yang mudah untuk tercabik. Mereka seperti karang dalam lautan. Kokoh dan tak terbendung abrasi.

Beberapa kudekati. Mulutku manis berbusa. Mengelus-elus.

Beberapa mereka benar-benar bidadari, namun ada juga yang pelangi.

Lewat setengah tahun sudah. Dia yang dulu kumakan mentah-mentah aku tak tahu. Tapi, baru tadi kulihat dia lagi. Lenggoknya, pinggulnya, sanggulnya, semakin menggoyang iman.

Aku ingin makan dia lagi, seperti yang dulu-dulu. Saat aku bilang cinta, dia cuma diam yang berarti iya. Lantas aku makan dia. Bulat-bulat. Mentah-mentah. Masih segar riwayat dulu, bau segar darah yang setetes-setetes itu. Atau ketika dia bilang “sakit”.

Wanita selalu seperti itu. Merengek-rengek, kemudian menjulurkan lidahnya panjang-panjang, penuh liur ludah. Persis anjing. Mungkin dimata Tuhan, anjingpun masih lebih suci, tidak seperti mereka. Mereka adalah sundal-sundalnya anjing. Bahkan anjing berkelamin tak pernah meminta bayaran, mereka cuma ikut naluri. Goyang-goyang lantas sudah. Namun sundal tidak, mereka minta bayaran. Itulah mengapa sundal lebih rendah daripada anjing.

Aku pun anjing. Liurku menetes, dari tetes menjadi sederas kali yang terdesak batu. Muncrat-muncrat. Aku menelan ludah. Sudah seperti air minum saja ludahku, terlalu banyak, mungkin lebih dari secangkir kopi hangat yang baru ku teguk tadi.

Imanku kembang-kempis. Aku memang anjing, tapi aku masih punya iman. Secuil tidak lebih dari upil. Duhai gusti, lenggoknya, pinggulnya, aku mau! Aku ingin makan lagi dia, wanita bekasku yang telah menjadi sundal. Tapi aku takut, nanti kena penyakit kelamin. Belum dua bulan aku bebas dari herpes. Sakit sekali, bawahku ini panas-panas. Enak cuma sekejap, namun sakitnya tak kejap-kejap.

Aku dekati wanita itu. Aku kasih tangan. Liurku aku simpan.

Aku bisa lihat api dibola matanya. Liar. Tak ada cinta. Dia masih marah. Aku cuma tertawa dalam hati, bangga. Aku masih kasih tanganku, aku ingin rasa lagi halus kulit tangannya.

Dia berpaling. Angkuh. Melata seperti sundal.

Jauh dia dari mataku, aku terkekeh. Bara hatinya masih menyala. Dia masih dendam. Tapi tak apa, aku sudah cukup puas memakannya, bulat-bulat, mentah-mentah.

Bisa kudengar bisik-bisik wanita pelangi. Mereka bilang wanita bekasku itu sundal, mereka meludah, mencibir, minta ampun biar keluarga mereka tak ada yang seperti itu. Mereka dungu, mereka juga sundal. Dan mereka lebih dungu dari sundal, mereka sundal-sundal dalam ketidakbebasan. Mereka sundal-sundal yang malang, cuma memiliki satu pejantan.

Wanita pelangi adalah para sundal yang sok suci. Aku pernah datang kepada mereka. Aku ulurkan tangan. Aku cerita tentang langit dan bintang-bintang, kemudian aku bilang cinta. Mereka seperti babi, kuhalau mereka mau. Mereka pun sama, ku makan bulat-bulat, mentah-mentah.

Kau tahu? Bahkan wanita pelangi pun ada menggunakan penutup muka. Cuma ada mata diantara muka mereka. Aku tak lihat hidung dan bibir mereka. Aku cuma lihat mata-mata mereka, mata-mata dengan api yang menyala. Mereka pun sundal. Baru aku tahu mulut dan hidung mereka, bahkan rambut ketika mereka kumakan. Habis kumakan, mereka kembali lagi seperti awal, cuma onggokan daging yang berjalan dengan mata. Orang-orang bilang mereka suci, tapi bagiku mereka juga sundal.

Tapi wanita bidadari berbeda. Mereka benar-benar suci. Aku ingin makan mereka, ingin aku lahap, tapi aku tidak bisa.

Bidadari itu seperti intan kokoh yang turun dari surga. Aku coba ceritakan tentang langit dan bintang-bintang, kemudian aku bilang cinta. Mereka bergeming. Sumpah, mereka bukan sundal. Mereka adalah sebenar-benar wanita.

Mereka adalah yang menjaga kesuciannya. Mereka cuma tunduk kepada suami-suami mereka. Mereka tak pernah disentuh oleh selain hak mereka.

Kuat inginku mengubah mereka menjadi pelangi, lantas kujadikan sundal. Sundal-sundal yang merasa suci. Ingin kudengar celoteh mereka seperti wanita pelangi celoteh, tentang para sundal, namun bidadari acuh. Mulut mereka terkunci, terkecuali kepada pembicaraan tentang iman.

Dan kau tahu? Beberapa sundal ketemukan telah menjadi bidadari.