LUGU

Kamu tidak bodoh ben, kamu hanya lugu… terlalu lugu.

Aku tak menghiraukan kata-katanya, tetap duduk melingkarkan tanganku pada lutut yang tertekuk. Separuh wajahku ngungsep dalam lipatan tangan berpangku pada lutut, hanya menyisakan sederet mata letih yang memandang aliran deras sungai.

Aku menarik nafas panjang, terlalu panjang rasanya untuk satu hirupan nafas, bagai bertualang rasanya ketika aliran oksigen bercambur uap air itu memasuki hidungku lalu menjalar dalam tenggorokku, berlalu cepat menuju paru-paruku dan dengan begitu cepat darah merampasnya, memperkosanya ke seluruh tubuh lalu nafas sisa kubuang. Satu hembusan yang panjang untuk sebuah kimia karbon dioksida yang kuhadiahkan kepada semesta.

“Terlalu lugukah aku?”, batinku sesak.

Aku miliriknya sedikit, mencoba mencari arti lain dalam kata-katanya namun rasanya sia-sia. Dia hanya tersenyum, sama seperti yang sudah-sudah, senyum yang begitu tulus dan kasih, senyum yang selalu menggetarkan hati ini.

Pernahkah dirimu memandang keruhnya sungai-sungai?

Sedari tadi aku memang memandang sungai yang mengalir deras itu, namun tak pernah mendapatkan makna lain, hanya sebatas sungai yang amat keruh. Tak ada yang lain.

Kamu hanya terlalu percaya, bahwa tiap bulir air sungai ini selalu akan mengalir menuju lautan. Kebanyakan memang demikian, kebanyakan…

Selalu begitu, selalu begitu! Nada menggantung, nada bertanya. Dia pikir aku ini siapa? Seorang profesor untuk pertanyaan-pertanyaan konyolnya? Aku memintanya datang untuk sebuah solusi, bukan untuk pertanyaan-pertanyaan tanpa arti. Bukan untuk membuat sel abu-abu ini semakin mengerut dan menciptakan rangsangan-rangsangan listrik yang tak beraturan. Bukan untuk membuatku semakin gelisah!

Namun tak semua mampu mencapainya. Ada yang mengeras menjadi es. Ada yang tertahan dalam bendungan-bendungan dan kolam-kolam. Ada yang bertugas menjaga suburnya tanaman. Bahkan ada juga yang beterbangan membentuk kabut putih yang kita sebut awan. Tak semuanya, tak selamanya…

Aku hanya semakin bingung.

Tak selamanya manusia seperti yang kamu pikirkan. Tak selamanya manusia itu seperti dewa, namun mereka juga bukan iblis. Mereka hanya manusia, hanya manusia… tidak lebih.

Mereka terikat akan kesenangan, mereka terikat dengan kehidupan mereka. Mereka berdiri dalam kokohnya dualitasnya.

Bingung, bingung! Semakin aku bertanya, aku semakin tak menemukan jawaban dari kata-katanya. Mungkin tak akan pernah…

Mengapa kamu memandang sinis kepada sebagian dari mereka? Lantas mengapa kamu mengagungkan sebagian yang lain?

Aku menatapnya lekat, menatap bibirnya yang lembut. Memandang matanya, hidungnya, kupingnya, rambutnya. Dia persis aku, DIA AKU!

“Aku hanya merasa perlu untuk seperti itu”, akhirnya aku membela diri daripada harus terus terusik oleh jawaban-jawaban yang akan membuatku semakin bingung.

Dia tersenyum, senyum yang kutahu setulus hati. Senyum yang tidak akan pernah menipu, senyum yang tersirat dari kepala yang selalu tertunduk.

Surga atau Neraka, itu bukan hak mu. Seburuk apapun seseorang, sebaik apapun hamba, dua tempat itu hanya Tuhan yang menentukan. Kamu tidak akan pernah berhak untuk menghakimi!

Boleh jadi yang kamu anggap baik sekarang, akhir masa dia akan buruk. Dan boleh jadi apa yang kamu anggap buruk saat ini dia akan menjadi baik. Tak pernah ada yang statis, tak akan pernah ada!

Suaranya tegas. Aku tidak tahu apa ada nada kemarahan didalamnya, namun aku merasa dia terlalu menekan pada kata-katanya.

Letih. Aku membaringkan badanku bersandar pada rumput yang mulai mengering. Memandang ke atas, aku melihat beberapa kerbau sedang duduk sambil mengunyah dari muntahan makanan yang belum terlalu lembut untuk dicerna.

Mungkin hanya satu yang akan selalu statis; KELUGUANMU.

Aku memenjamkan mataku. Aku tersenyum sambil menikmati sensasi kehampaan yang diurai dari lembaran-lembaran hitam pekat. “Kau benar, hanya ada satu yang statis hingga saat ini. Keluguanku”, aku bergumam pelan.

Siang itu matahari cukup menyengat, namun ada sebuah kedamain disiang itu. SEBUAH JAWABAN TENTANG KELUGUAN.