Datul…
Aku pernah menulis dia dalam beberapa episode kehidupanku. Menuliskan betapa aku mencintainya hingga detik ini. Terkadang aku mengerti, terlalu memperhatikan dan terlalu mengacuhkan bisa menjadi petaka dan prahara. Aku salah.
Terkadang aku berpikir, apakah ada pria lain yang mampu sepertiku? Memandangnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Menatapnya kapan dia sakit dan kapan dia bahagia. Memandangnya tanpa jemu tanpa jeda. Memberikan perlindungan. Lagi-lagi aku salah.
Dulu aku pernah bertanya, “Aku tidak dewasa, bagaimana?”
“Cukuplah kamu, aku tidak membutuhkan yang dewasa.”
“Apa yang kau inginkan?” Tanyaku.
“Sebuah cinta yang tulus.” Katanya sembari tertawa kecil.
Aku pun tersenyum. Kami sama-sama tertawa, itu adalah salah satu episode indah yang pernah kualami. Satu episode yang kukristalkan dan tidak ingin kulupakan sebelum seseorang yang mampu menggetarkan hatiku memintaku melupakannya. Semoga kali ini tidak salah.
Aku pernah menuliskan tentangnya. Menulis dari sudut pandang pribadiku. Menulis dengan apa yang kulihat dan kurasakan. Namun aku bisa saja menjadi salah.
Aku miris. Mengapa setelah aku menuliskan tentang dia, ada banyak orang menghujatnya. Teman-temanku, sahabatku, keluargaku. Aku benar-benar miris. Apakah karena mereka hanya mendengarkan cerita dari mulutku? Apakah karena mereka merasa telah lebih dekat denganku? Mengapa mereka membelaku, mengapa mereka tidak menghujatku saja dan membela Datul?
Aku hanya percaya satu hal. Setiap orang melakukan sesuatu dengan alasan. Apapun alasan itu. Dan aku yakin apa yang telah Datul lakukan padaku pasti memiliki alasan.
Dia memiliki hati yang lebih perasa dan peka. Dia memiliki hidup yang bebas. Pasti ada salah dariku yang membuatnya bergerak seperti itu. Dan aku yakin, kesalahan itu ada padaku. Akulah yang selama ini salah.
Semalam aku berbicara dengan Aik, dia adalah yang pertama terbebas dari pemikiran tempurung yang tengkurung. Dan kedua adalah fifi.
Aik akhirnya mengerti, mengapa Datul berbuat seperti itu. Dia mampu merasakan apa yang sedang Datul rasakan, dan aku merasa senang. Ada seseorang yang berkonfrontasi langsung denganku, dan dia membuat alasan yang selama ini ingin kudengar namun sayangnya orang-orang telah tertidur dengan ucapanku.
Aku bukan tidak pernah salah sahabat, aku bukan si Mahabenar. Aku bukan Tuhan yang absolut dan multak.
Aku selalu bergerak dalam jalur dua arah, kebenaran dan kesalahan. Aku bergerak dengan hati, mata, dan perasaan. Dan bukan tidak mungkin apa yang kutangkap adalah sebuah kesalahan.
Aku rasa, mulai saatnya kita berpikir dengan cara memandang dari atas agar semuanya terlihat jelas. Aku rasa mulai saatnya kita mendewasa dalam berpikir, Berpikir dengan sudut pandang yang berbeda. Menjadi empati agar mampu menakar apa yang orang lain rasakan akibat tindakan kita.
Jika seseorang berkata kepadamu, maka pahamilah. Mungkin bisa jadi yang berkata kepadamulah itu yang salah, bukan orang yang sedang dia bicarakan.
Andai Datul ada di sini. Aku ingin dia menyuarakan sudut pandangnya kepadaku. Menyuarakan apa yang kusembunyikan dan apa yang ku pertegas.
Ahh… aku memang tidak sempurna, bahkan dalam sudut pandang yang berbeda.
“Selamat berempati.” Kata rifkaaaa temanku.