Aku pernah ada di tempat yang paling tinggi. Pernah pula aku jatuh ke tempat paling rendah. Bahkan menari di antara keduanya. Laksana gelombang. Pasang-surut silih berganti. Semisal roda, kadang di atas kadang di bawah. Aku berputar tanpa henti. Menuju lelah. Mencapai akhir.
Lantas aku pun diam, pada satu titik. Berdiam yang lama sekali. Menyudutkan pandanganku cuma tertuju kepada bumi. Bertanya, sampai kapan aku akan terus begini. Hidup dalam gelombang. Hidup dalam pusaran yang tak pernah mengenal kata henti.
Aku ingin seperti dulu. Saat aku hidup di atas. Ketika jarak aku dan Dia sangat dekat, bahkan lebih dekat dari urat nadi. Ketika aku benar-benar merasa, bahwa kedekatan kami begitu erat. Sampai kemudian iblis pun datang dengan merangkak, pelan-pelan masuk ke dalam hati. Saat dia bercerita, tidak ada lagi langit di atasku ini.
Aku mengangguk ketika itu. Iblis pun tertawa. Lantas aku pun jatuh bergelimpang dengan hina. Dan sebuah bisikan lantas berdengung di telinga, mengatakan bahwa tak ada tempat yang lebih rendah lagi di bawahku. Lantas aku pun diam, pada satu titik. Berdiam lama sekali.
Maka air mata pun menjadi sia-sia. Tidaklah air mata diciptakan menjadi anak tangga, tidak pula menjadi sayap untukku kembali terbang tinggi. Tetapi air mata cuma diciptakan menjadi tinta, bahwa ada detik-detik yang pernah hadir, yang tidak boleh lagi aku ulangi.
Bodohnya. Aku seperti keledai. Lebih bodoh lagi. Lagi. Lagi. Jatuh puruk dalam lumpur yang sama. Bahkan lebih buruk lagi. Lagi. Lagi.
Kadang aku merasa menyesal. Ketika dulu kami dikumpulkan, dan diambil sumpah. Betapa bodohnya aku. Merasa tinggi. Merasa bisa. Mengira tak akan pernah mampu digoda. Lantas diturunkan kami satu demi satu, sebagian demi sebagian, sampai semua menjadi lunas. Dan cuma sisa penyesalan, ketika kami ditarik kembali satu demi satu, sebagian demi sebagian, sampai semua menjadi tuntas.
Gelombang ini terus bergerak. Mengalir. Tak pernah jeda walau engkau merasa dia berhenti. Menunggu saat yang tepat, membangun badai dari angin yang kau semai. Dan aku menatap dari jendela kecilku, sebuah tempat yang aku rasa aman, ketika menatap orang-orang. Tentang manusia yang tertawa, namun dinyanya sedang tercabik, tapi tak menyadari. Tentang mereka yang sebenarnya terhempas, dan semakin hilang, dan terus saja terbahak tanpa mengerti.