Episode: Lelaki Kalah Perang

Lelaki itu menatapku lekat. Ada kehampaan dari matanya, kehampaan yang terlahir dari jiwa-jiwa letih yang penuh pengharapan namun harus tersungkur oleh kekalahan. Lelaki yang kalah oleh cinta.

“Ben, abang ga bisa melupakannya,” lelaki itu membuka suara. Seperti yang sudah-sudah, selalu tentang dia. Tentang wanita yang dimataku bukanlah apa-apa, wanita yang tak akan mampu menyandang predikat puteri atau bidadari. Wanita yang teramat biasa namun baginya adalah sebuah keharusan cinta. “Abang cinta banget sama dia.”

Aku diam, sengaja mencoba tidak memandang matanya memberikan waktu untuk melanjutkan segala keluh-kesah yang mengumpul dari jiwa-jiwanya yang gundah dan kalah.

…, tak ada lanjutan. Aku memandang matanya, mata yang layu kalah perang. Mata itu mulai mengkilat, mulai berair. Dia menangis.

Aku amat sangat mengerti apa yang dirasakannya. Aku pernah seperti itu.

“Apa abang sudah mengatakan kepada dia perasaan abang?”

Lelaki itu menggeleng. “Tapi dia tahu abang cinta sama dia!” Buru-buru dia menegaskan.

“Darimana dia tahu abang cinta sama dia kalau abang tidak pernah mengatakannya?”

Lelaki itu terdiam, “abang ga berani.”

“Takut ditolak?”

Dia memandang mataku, mencoba menjawab dalam diam. YA!

Aku diam. Memberinya waktu leluasa untuk melanjutkan cerita. Dia tetap diam.

“Bang, apa bagusnya dia? Mengapa harus terus memasung diri dari pintu yang tertutup? Mengapa tidak mencoba pintu lain yang terbuka,” entah mengapa kata-kataku itu seperti menghina diriku sendiri. Aku sebenarnya sama seperti dia, mencintai wanita yang sama untuk bertahun-tahun lamanya.

“Entahlah Ben, abang sendiri ga tau. Kenapa abang suka banget sama dia.”

Sudah lama dia mengutarakannya, sudah dari 3 tahun yang lalu saat dia awal-awal menjejak kaki dikampusnya. Sudah 3 tahun dia mengharapkan diri dari wanita yang sama, wanita yang bagiku amat sangat biasa. Wanita yang bukan puteri apalagi bidadari.

“Lalu bagaimana?” Tanyaku lepas.

Dia menggigit bibir bawahnya, lalu menunduk. Matanya kembali mengkilat, dia menangis. Dia menangis tanpa isakan, menangis secara jantan, nangis para lelaki.

Jujur, aku tak akan pernah menduga dia bereaksi seperti ini. Tangisannya, kepiluannya, lenguhan hatinya. Aku sama sekali tidak menduga. Hari ini untuk pertama kalinya aku menyaksikan seorang pria mengangis, padahal dulu yang kupikirkan adalah hanya aku satu-satunya pria yang mampu menangis.

Lama kami diam, tak ada suara. Berbicara tanpa bahasa, pembicaraan yang paling universal yang pernah ada, berbicara dengan perasaan, berbicara dalam diam.

Menatap sosoknya aku seperti menatap diriku sendiri. Aku seperti menatap diriku saat keterpurukan hati itu melandaku, menatap diriku yang dulu begitu kolaps.

“Bang, kita pulang yuk?”

Dia menegadah, menatapku dengan tatapan yang masih sama seperti tadi, dengan pandangan hampa.

Aku berdiri, beranjak pergi menuju kasir untuk membayar tagihan 2 teh botol sosro yang kami habiskan dalam upacara kepedihan, juga membayar nasi goreng spesial pesananku dan mie bakso pesanan dia. Kali ini aku yang traktir.

Hari ini kami pulang tanpa solusi baginya, tetapi paling tidak segumpal rasa pedih itu telah terbuang, walau aku yakin rasa itu masih cukup banyak menumpuk di dalam hatinya. Rasa yang tidak mampu diprediksikan kapan dia akan berfluktuasi.

Entah mengapa, tiba-tiba aku teringat sang puteri. Apakah aku telah ada dalam kamus hidupnya atau tetap seperti dulu? Tak pernah ada aku walau hanya secuil skesta buram.

Angin sore itu terasa sejuk, seolah memberi arti lain dalam episode pembicaraan kami itu. Aku menatap punggungnya saat dia beranjak pergi. Punggung yang kokoh, namun terlalu rentan untuk urusan percintaan. Punggung lelaki yang baru saja kalah perang.

Note: Cerita ini fiktif. Cerita ini kupersembahkan buat abangku tersayang, Bang Riza. sang puteri tidak hanya berdiri dalam rumah satu pintu. Jika pintu yang satu terkunci, maka cobalah ketuk pintu yang lainnya. Jika semua pintu tertutup rapat, maka yakinlah tidak hanya satu rumah yang memendam sang puteri. Ada banyak puteri dalam rumah-rumah yang lain.