Eksistensi Tentang "dia"

Tak perlu berbicara dengan puisi, aku cuma ingin curhat!

Huff, rasa gundah ini begitu menggunung bahkan aku semakin tidak mengerti tentang aku. Kali ini aku ingin membicarakan sosok lain selain puteri. Memang aku selalu menyembunyikannya, namun jenuh dengan semua rasa yang tergolak oleh sang puteri membuatku mencari sesuatu diluar dia.

Dia sama seperti sang puteri, sama-sama wanita. Namun ada yang berbeda, dia tidak acuh seperti sang puteri, dan tak seberapa angkuh. Namun sama seperti sang puteri, aku sadar pupus adalah pilihan untuk kisah ini juga. Aku memang lelaki sepenggal harap, lelaki yang selalu tertolak. Mungkin sudah menjadi my destiny kalee 🙂
Baca Selengkapnya

Inilah Cinta

Puteri, maafkan aku yang mencintaimu dengan hati ini. Maafkan aku yang tidak mencintaimu dengan lidah ini. Puteri, maafkan aku.

Puteri, mungkin aku bukan seperti pria yang engkau idamkan. Aku bukan pangeran dari negeri impian, yang memujamu melalui lidah tak bertulang, yang membangunkan egomu dengan perhatian. Puteri, maafkan aku yang ditakdirkan untuk menyembunyikan cinta dibalik rasa malu, maafkan aku yang menggantung cinta diujung lidah yang kelu. Maafkan aku puteri.

Namun, sungguh di dalam hatiku yang teramat dalam ada dua kata di sana; nama Tuhan-ku dan namamu. Puteri, kau tidak hadir di ujung lidah ini, kau tidak hadir di ujung jemari ini, kau tidak hadir dalam tiap gerakku. Kau hanya hadir di hati ini, sesekali menyimpul dari air mata yang mengingat betapa dirimu tak pernah memikirkan aku, dan dia selalu hadir dalam tiap tetes darah yang mengalir dari nadi-nadi ini.
Baca Selengkapnya

Yang Tak Ingin Angkuh

Puteri, sungguh aku tidak ingin angkuh dalam mencintaimu. Berpikir ribuan tahun masa aku mulai mengerti aku memang bukan yang terbaik untukmu. Puteri, aku tidak ingin angkuh dalam cinta ini.

Dulu, aku ingin sekali me-monopoli-mu. Menjadikanmu bagian dari hidupku, membuatmu menyatu bersamaku. Aku ingin darahmu mengalir dalam nadiku dan darahku menjadi serta darahmu. Aku ingin nafasmu menghembus dari dua lubang hidungku dan nafasku memenuhi paru-parumu. Aku ingin kau menjadi aku dan aku adalah engkau. Aku ingin kita bagai satu jiwa yang terpisah oleh badan dan pikiran. Aku ingin engkau menutupi kekuranganku dan aku menjadi sisi positif bagimu. Sungguh puteri, aku ingin bersatu denganmu membangun masa depan dari tangan dingin kita berdua, membangun sebuah kehidupan yang didasari oleh cinta, membuah sebuah Mahakarya agung yang tiada duanya, sebuah kolosal kehidupan yang dibangun atas dasar cinta. Sungguh puteri, aku menginginkan itu.
Baca Selengkapnya

Lelaki Yang Berbicara Tentang Angin

Lelaki itu kembali menggila. Kali ini dia berbicara tentang angin. Meracau betapa angin juga harus dihargai, angin merupakan bagian fundamental dari sistem jagat, angin adalah hal yang substansil.

Sumpah aku tak mengerti apa yang dikatakannya. Sumpah!

Aku sama seperti orang-orang lain yang hanya sekedar lewat melalui jalan itu, hanya sebuah kebetulan lelaki itu ada di sana. Hanya sebuah kebetulan! Aku sungguh tidak akan percaya jika ini bukan kebetulan, lelaki itu hanya membual saat berkata aku bukan kebetulan di sana. Dia memang pembual!

Selain tentang angin lelaki itu juga berkata tentang keterkaitan, berbicara tentang aksi-reaksi. Lelaki yang terus meracau tentang sesuatu yang tidak kumengerti. Lelaki yang benar-benar parah. Dia gila!

“Wahai lelaki yang selalu tertunduk, pernahkah engkau menatap angin?” lelaki itu meracau.

Tidak ada yang peduli, sama sekali tak ada yang peduli. Tidak! Masih ada yang peduli, peduli karena kasihan. Aku tahu itu cuma aku. Tidak yang lain! Lalu akupun menggeleng.
Baca Selengkapnya

Episode: Lelaki Kalah Perang

Lelaki itu menatapku lekat. Ada kehampaan dari matanya, kehampaan yang terlahir dari jiwa-jiwa letih yang penuh pengharapan namun harus tersungkur oleh kekalahan. Lelaki yang kalah oleh cinta.

“Ben, abang ga bisa melupakannya,” lelaki itu membuka suara. Seperti yang sudah-sudah, selalu tentang dia. Tentang wanita yang dimataku bukanlah apa-apa, wanita yang tak akan mampu menyandang predikat puteri atau bidadari. Wanita yang teramat biasa namun baginya adalah sebuah keharusan cinta. “Abang cinta banget sama dia.”

Aku diam, sengaja mencoba tidak memandang matanya memberikan waktu untuk melanjutkan segala keluh-kesah yang mengumpul dari jiwa-jiwanya yang gundah dan kalah.

…, tak ada lanjutan. Aku memandang matanya, mata yang layu kalah perang. Mata itu mulai mengkilat, mulai berair. Dia menangis.

Aku amat sangat mengerti apa yang dirasakannya. Aku pernah seperti itu.

Baca Selengkapnya