Bumi, aku ingin cerita. Tetapi jangan sampai langit tahu. Ini rahasia kita berdua.
Perjalanan hidup 26 tahun bukanlah waktu yang singkat. Benar demikian wahai bumi? Aku pun merasakan hal yang sama. Perjalanan, dekade, fase, langkah-langkah yang berawal kecil namun terus tersusun. Sampai pada suatu titik, aku merasa harus kembali bertanya: apa tujuanku?
Terkadang, saat aku membuka telapak tanganku, melihat garis-garis takdir yang tergaris di dalamnya, aku cuma menemukan alpa. Aku bukan peramal, tentu! Aku tidak tahu bagaimana garis tangan mampu ditakwilkan sebagai suatu perjalanan kehidupan. Namun bumi, aku tetap bertanya saat aku membuka telapak tangan itu. Aku bertanya: atas dasar apa aku tercipta.
Bumi. Jangan sampaikan ini kepada langit. Aku tidak ingin mereka yang berada di atas kita menjadi murka. Bahwa, seseorang yang telah turun mencoba bertanya atas dasar apa dia diturunkan. Aku tidak ingin langit sampai tahu dengan semua pertanyaanku.
Aku melihat jawaban bumi. Aku melihatnya. Aku melihat jawaban yang tertoreh di dalam kitab-kitab agama. Atau, jawaban yang coba dijabarkan oleh lisan-lisan dari apa yang ada di dalam kepala manusia. Aku lihat, mereka menjawab tanyaku tentang mengapa aku harus sampai turun, mengapa aku harus ada. Bumi, jika boleh aku meminta, aku ingin hadir dalam ketiadaan. Tidak terikat, tidak terjalin, tidak hadir, hanya melihat.
Perjalan memilah itu bukan sesuatu hal yang gampang. Semakin engkau membuat ikatan baru, semakin engkau akan terikat. Seperti pasir hidup, dia menelan segala sesuatu. Aku pun sama. Tertelan. Pelan. Dalam-dalam.
Bumi. Aku merasa semakin menjadi budak.
Langit memberikan aku raga. Mereka memasukkan nyawa. Lantas mereka ikatkan pula jiwaku di dalamnya. Dan engkau tahu bumi, mereka juga meletakkan napsu di dalam ragaku ini. Napsu yang begitu besar. Hadir cuma untuk memperbudakku. Napsu yang didatangkan untuk mengikatku di dalam dunia kebendaan. Sayangnya, aku tidak seperti mereka yang telah punya sayap untuk terbang. Aku tak kuat untuk memberontak.
Bumi, aku sekarat. Aku hampir mati. Aku kesakitan.
Apakah engkau melihat seperti apa yang aku lihat? Seluruh ragaku kini dipenuhi oleh lumpur. Hitam. Lekat. Lengket. Mengakar ke dalam dasarmu. Aku merasa seperti serangga yang terjebak di dalam sarang laba-laba. Semakin aku menggeliat, semakin pula aku terikat.
Aku harus bagaimana, Bumi? Aku harus bagaimana!
Atau menurutmu, aku ikut saja apa yang dunia katakan. Aku biarkan saja diriku ditelan oleh lumpur kehidupan. Membiarkan laba-laba yang memakan jiwaku semakin mendekat.
Aku pernah lihat. Serangga yang semakin menggeliat, dia akan semakin terjerat. Mereka yang berontak dalam pasir hidup, akan semakin tertelan. Mereka yang tenang, ikut hanyut, malah selamat. Apakah memang harus demikian skenarionya? Aku ikut arus, biarkan diriku terombang-ambing tidak melawan arus. Membiarkan diriku pelan tergerogoti oleh hitamnya dunia, sambil menunggu: kelak dari seekor ulat akan lahir kupu-kupu.