(Bukan) Dari Mata Turun ke Hati

Dari 5 (lima) kali jatuh cinta, 2 (dua) yang terakhir aku cintai tanpa pernah bertatap muka langsung dengan mereka alias melalui dunia maya. Jadi, bagiku pepatah yang berkata: dari mata turun ke hati, tidak 100% adanya. Mungkin bagi orang-orang yang menomor satukan masalah rupa hal itu bisa saja terjadi, namun aku tidaklah demikian.

Salah seorang temanku, ketika bercakap-cakap denganku di udara pernah berkata begini: “Ben, aku tak percaya ada cinta yang berasal dari dunia maya tanpa menatap langsung orangnya.

Awalnya akupun tak percaya. Namun interaksi bisa membuat rasa itu hadir. “Tak kenal maka tak cinta,” begitulah kata pak lurah di desaku. Dan benar adanya, interaksi mampu membuat seseorang yang terpisahkan oleh jarak ribuan kilometer mampu jatuh cinta.

Aku pernah pergi ke walimahan seorang akhwat, menurut desas-desus yang kudengar dari ikhwan-ikhwan yang bergosip ria, akhwat tersebut bertemu dengan calon suaminya di dunia maya atau lebih tepatnya dari ceting. Mereka pun menikah! Sungguh luar biasa.

Ternyata jodoh di tangan Tuhan memang benar adanya. Cuma ya bagus-bagusnya kita mencari, kalau tidak dicari ya tetap di tangan Tuhan terus.

Sampai saat ini aku belum pernah bertemu dengan bidadari ketiga. Aku cuma melihat fotonya, dan sesekali berinteraksi dengannya. Kami dulu biasanya sering chatting. Saling berkirim kabar, saling bertanya, saling berbagi, saling mengisi. Dia, tidak begitu cantik. Masih banyak wanita lain yang rupawan, namun ada sesuatu yang membuatku kagum: kepolosan.

Aku memang tak pernah berkomunikasi langsung, namun dari caranya berkata-kata, mampu kutangkap betapa polos dirinya. Begitu sederhana. Aku suka.

Aku seperti Majnun, dan dia adalah Laylaku. Aku seperti Zulaikha, dan dia adalah Yusufku.

Satu petikan kalimat yang keluar darinya, seperti ruhku yang kembali ke jasad. Aku selalu menunggu-nunggu dirinya menyapa. Terkadang sengaja aku berdiam diri. Aku adalah orang yang aneh ketika sedang jatuh cinta. Jika aku mencintai seseorang, aku seperti menghindar. Mungkin beberapa akan merasa aku seperti menjauhi mereka.

Aku hampir selalu dalam keadaan ekstase rindu. Entah mengapa. Seperti diguna-guna, dipelet, aku tak mampu lupa, tak pernah jeda. Cinta seperti mengalir dalam aliran darahku, menjadi nadi-nadi yang berpompa bersama degub jantung.

Kuat inginku dia merasakan hal yang sama seperti yang aku rasa. Namun aku tak pernah berani berkata cinta. Belum tepat waktuku untuk membuka semua tabir tentang itu, belum lagi tegak punggungku untuk meminang, untuk menjalin sebuah ikatan separuh iman. Aku masih terlalu kekanak-kanakan.

Mengapa aku menyebutnya dengan “bidadari ketiga” ? Sebutan itu membuatku merasa nyaman. Aku merasa tak memiliki beban, jika kelak aku bercerita tentang dia di blogku ini, bahkan terkadang aku bercerita tentang dia kepada dirinya sendiri. Dia tak akan pernah menduga bahwa dialah yang kutuju selama ini.

Akupun membutakan mataku bahwa rasa yang ada ini tidaklah terbalaskan. Aku tidak tahu siapa yang sedang dia cintai, siapa lelaki yang sedang menjajah hatinya. Aku rasa, aku tak perlu tahu. Cukuplah aku yang mencintai, sudah tertulis itu di dalam catatan takdirku.