Jumat, pagi hari, kabut asap mulai berubah menjadi setengah bulan yang membuat mata saya kehilangan cahaya. Awalnya setengah bulan itu cuma bertengger menutupi sepertiga penglihatan, namun dengan cepat, saat sore hari, ketika saya hendak dioperasi, setengah bulan itu telah menjelma menutupi separuhnya.
Lepas shalat Jumat, siangnya saya dan teman saya — Faza Satria Akbar — berangkat ke Rumah Sakit Cicendo. Saya masih belum tahu, bahwa satu-satunya pengobatan untuk kasus mata saya adalah operasi. Di sana, saya mendaftar kemudian menunggu. Saat giliran saya diperiksa, dokter memeriksa mata saya dengan teliti. Dokter di sini sangat ramah, pelayanannya pun bagus, ketika dokter bilang saya harus dirujuk ke ahli retina, saya mulai khawatir, terlebih tindakan harus segera dilakukan atau besar kemungkinan saya akan cacat permanen. Dokter memberikan beberapa rekomendasi ahli retina yang tersedia di kota Bandung.
Untung Faza mengerti benar jejak rute angkot di kota Bandung. Saya sangat terbantu saat itu. Maka, kami pun berangkat ke salah seorang dokter ahli retina rujukan dari dokter Cicendo tersebut.
Saya tiba di Bandung Eye Center (BEC) menjelang sore. Saat diperiksa, dokter mengatakan bahwa retina saya lepas. Saraf pada retina terjadi kerobekan dan lepas. Ada dua pengobatan yang menjadi opsi, melakukan operasi laser, dan jika tidak juga berhasil maka akan dilakukan operasi besar pemasangan silikon di mata saya. Saat saya tanya berapa biaya operasi besar, per mata tidak kurang dari 19 juta rupiah sampai 25 juta rupiah. Sedangkan untuk operasi laser, lasernya sendiri berkisar 600 ribu sampai 900 ribu, sedangkan penyuntikan gas pada mata berkisar 2,5 juta rupiah.
Mendengar penuturan itu saya shock, menimbang, mencoba membuat keputusan yang terbaik. Terlebih, total uang pada tabungan saya jauh kurang dari kebutuhan biaya yang harus saya jalani. Di tengah kepanikan, saya mencoba menelepon kakak saya, dr. Nurfitriani, Sp.P, saya katakan tentang kondisi saya dan tindakan satu-satunya haruslah operasi.
Akhirnya, saya setuju untuk melakukan operasi laser saja diawal, mencoba keberuntungan, mungkin kasus saya tidak harus sampai pada tahapan pemasangan silikon pada mata.
Pelayanan di sini sangat cepat. Begitu keputusan saya ambil, langsung malamnya sekitar pukul 19.00 saya melakukan operasi pertama saya menyuntikkan gas ke mata. Setelah operasi dilakukan, saya harus tidur miring posisi 15 s.d 30 derajat miring ke kiri. Letak keberhasilan operasi laser ini adalah menjaga posisi gas tetap stabil untuk menekan retina yang terlepas.
Tidur, duduk, berjalan, semua harus dilakukan dalam posisi kepala miring ke kiri, bahkan saya tidak boleh tidur kecuali dengan posisi setengah duduk dan tetap kepala harus miring ke kiri. Awalnya, pekerjaan itu sangat berat. Pundak saya pegal sekali, terlebih untuk mempertahankan posisi demikian sepanjang hari, sampai hari Sabtu. Ya, hari Sabtu adalah jadwal saya akan melakukan operasi laser.
Ternyata saya melakukan dua kali operasi laser, Sabtu dan Senin berikutnya. Dan selama gas masih ada di dalam mata saya, tetap saya tidak boleh tidur dan kepala harus tetap miring ke kiri. Perkiraan dokter, gas akan habis sekitar 4 sampai 6 minggu. Terbayang, selama itu saya harus tetap memiringkan kepala saat melakukan apapun, bahkan tidak boleh menunduk, bahkan saya sampai sekarang harus shalat dengan cara duduk.

Alhamdulillah. Allah masih berbaik hati kepada saya, sehingga, kemarin saat pemeriksaan terakhir, retina pada mata masih tetap menempel, namun dokter tetap menyarankan saya pada posisi semula — kepala miring — untuk memaksimalkan gas yang masih bersisa pada mata saya.
Penyakit ini (Ablasio Retina) bukan karena efek saya terlalu banyak membaca, melihat komputer, dan bermain dengan cahaya. Tetapi ini dikarenakan lemahnya efek retina. Saat dokter tahu saya tidak mengidap diabetes, ataupun kolesterol, maka kemungkinan berikutnya adalah karena keturunan. Retina saya memang lemah dari sononya.
Saat saya mengunggah foto saya pasca operasi di facebook, banyak yang mengira saya melakukan lasik, karena saya katakan operasi laser, jadi pertanyaan yang tercetus jadi membingungkan, “Apakah saya masih akan tetap menggunakan kacamata?”
Terlepas daripada itu, saya sangat berterima kasih kepada teman-teman semuanya yang telah memberikan saya dukungan serta doa yang mungkin mereka sisipkan dalam tiap-tiap shalat mereka setiap hari untuk kesembuhan saya. Baik mereka yang memberi dukungan langsung maupun tidak langsung. Semoga Allah membalas kebaikan mereka berlipat-lipat daripada sekedar impas atas doa-doa yang mereka panjatkan.
Saat-saat seperti ini, adalah saat penting, ketika satu nikmat Allah yang diberikan dicabut, Tuhan kembali bertanya, “NikmatKu manakah yang engkau dustakan?” — dan seharusnya kita, manusia, menjadi hamba-hamba yang selalu memuji dan bersyukur.