Berhenti Membaca

Aku TIDAK memiliki tekad untuk BERHENTI membaca, namun membaca membuat aku semakin sesak. Jantungku selalu berdebar lebih kencang saat membaca, suatu fase yang aku sendiri tidak paham.

Buku-buku semakin aneh. Aku bingung dengan laku yang diceritakan pada setiap buku. Aku semakin tak paham, tak juga mampu tuk dimengerti. Kadang kisah dalam buku adalah kisah-kisah yang indah, namun mengapa sekarang aku membaca kisah yang pilu. Aku belum sanggup untuk menanggung semua derita, derita dari setiap buku atau aku yang menderita karena buku.

Aku cuma seorang pembaca. Membaca apapun yang terserak.

Hati-hati manusia itu seperti buku. Agak sulit membaca banyak buku dalam waktu beriringan. Sebelum satu buku khatam, engkau membuka lembar lain dari buku yang berbeda. Ejaan perasaan, tekad, kesabaran, cinta, usaha, kegigihan, dan keterpurukan. Semua aksara telah dengan jelas diguratkan pada lembaran-lembaran kisah, namun pada aksara mana kita menulis.

Kata orang, rambut boleh sama hitam, namun isi kepala tak semua sama. Benar adanya apa pepatah itu bilang. Buku-buku juga demikian, walau kadang muncul cetakan kedua, selalu ada revisi walau cuma lembaran kertas yang berganti.

Jujur, aku bingung dengan gelisah ini. Buku itu belum lagi khatam aku baca, namun gelisah sudah mendera.

Buku-buku dengan isi yang selalu berubah arah sangat tidak nyaman untuk diselami. Sekali, kisah bercerita tentang A lantas berubah arah menjadi B dan kembali lagi ke A. Aku seperti terombang-ambing. Tidak ada keputusan yang jelas, bagaimana sebuah buku harus aku tamatkan.

Ingin aku berhenti membaca. Menutup buku itu lantas pergi. Namun rasa penasaran untuk mengetahui akhir, selalu membuat aku gelisah. Entah itu gelisah gembira atau gelisah nestapa.

Dilema. Aku benar-benar dilema.

Tuhan, haruskah aku menutup buku lantas pergi atau kuteruskan membaca hingga akhir? Tolong jawab. Bukankah Engkau yang memilih buku ini untuk aku baca? Tolong beri aku sedikit tanda.