Kepak Sayap-sayap Tumpul

EL!” pekiknya.

Aku menengadah ke atas, mencoba mencari El di atas langit-langit dunia. Pekikan-pekikan kami terbitkan, demikian seperti yang diajarkan para murshid. Pekikkan nama El di mana kalian butuh dia, kapan pun, di mana pun.

EL !!!” Aku ikut serta memekik. Semoga El belum lagi tuli.

Kau tahu? Aku hampir tidak percaya dengan keberadaan El. Aku rasa, omongan-omongan El yang sering kudengar lebih seperti mitos, atau dongeng-dongeng. Ketakutan manusia atas ketidakberdayaan mereka, lantas mencari sosok supreme untuk mampu membuat mereka merasa tenang. Diciptalah dia yang bernama El.

El adalah keberadaan. Ide mutlak dari setiap khayalan. Dia yang bahkan tidak memiliki nama, namun memberi nama agar mampu dimaknai. Dia yang ada dalam ketiadaan. Sesuatu yang tak mampu dibicarakan. Lebih ada dari semesta mayapada, lebih hening dari laksa labirin-labirin hitam ekstase. El, kerinduan.

Kadang, dihadapan para murshid, tugas kami cuma menyebutkan nama El. Jutaan kali.

Menurut wejaan mereka, kelak jika nama telah bersatu dengan darah. Setiap tetes-tetes darah akan membentuk ukiran nama.

Aku pernah diceritakan, seseorang yang mencintai nama El. Dia berucap nama El ribuan kali setiap hari. Dia tak berbicara kecuali bibirnya basah oleh El. El, El, El, El… hatinya berdenyut dengan rapalan El. Setiap detak jantung, ada nama El di sana. Syahdan, suatu hari dalam perjalanan bersama para murshid, kakinya tersandung, dia terjatuh, kepalanya terluka, tetesan darah membanjiri tanah. Engkau tahu, dalam setiap tetesan darahnya, nama El terukir di tanah basah oleh darahnya.

Darahnya kelak akan menjadi lautan. Orang-orang mengenangkan sebagai laut merah. Semerah darah lelaki itu, lelaki pecinta El. Tetapi aku tetap tidak percaya.

Hari ini, aku mengajak Kathmandu untuk pergi ke Himalaya. Aku ingin membuktikan bahwa El bukan sekedar dongeng. Aku ingin membuat agar aku percaya. Aku ingin membuktikan keberadaan El.

Awalnya Kathmandu menolak. Aku terus mendesak hingga akhirnya dia berkata IYA.

Aku penasaran. Hari ini, di puncak teratas dunia, aku ingin meneriakkan namanya. Semoga dia mendengar dan bukanlah sesuatu yang tuli. Aku ingin membuktikan bahwa dia ada. Atau aku pasrah, bahwa lebih baik dia itu tiada.

Katmandu. Teriakkan nama El sekeras yang engkau bisa! Teriak!” Aku memberi aba-aba.

Awalnya temanku itu sungkan. Harus ada stimulus. Aku memulai. “El! El! El!

Kami seperti orang gila. Meneriakkan nama yang entah kepunyaan siapa. Semua tetap seperti semula. Tak ada jawaban, hanya gema-gema suara kami yang bertalu-talu. El yang menumbuk dinding gunung menimpali apa yang telah kami teriakkan, El.

Tepat ketika seluruh tenaga telah terkuras. Kami pun memutuskan menyerah. El, dia memang tidak pernah ada.

Namun, tiba-tiba saja langit yang cerah mendadak menjadi lebih terang dari biasanya. Kami seperti berada di dalam gumpulan cahaya. Langit seperti terbuka. Dari langit, muncul burung-burung besar yang gagah. Paruh mereka kokoh tajam. Mata mereka seperti mata-mata kucing, indah dan liar.

Sekumpulan mereka mengelilingi kami. Berputar di atas kami membangun pusaran hitam dari tubuh-tubuh mereka. Mereka ribuan. Aku ketakutan.

AKU DATANG UNTUK KALIAN” Suara gelegar nan gagah mengisi ruang-ruang langit.

Aku semakin ketakutan. Mengigil. Peluh membanjiri seluruh badan.

APA YANG KALIAN TAKUTKAN? BUKANKAH KERINDUAN YANG MENGGIRING KALIAN KEMARI!

AKU ADALAH KERINDUAN

KEMARILAH. TEMUI AKU

Aku dan Kathmandu terpana. Mata kami menatap langit yang terbuka. Dan ketika itu, ada rasa menggelitik di bagian punggungku. Seperti ada yang hendak tumbuh.

Aku menggaruk. Memang seperti ada yang hendak tumbuh. Aku meraba. Ternyata, sepasang sayap telah tumbuh di balik punggungku. Apakah ini keajaiban yang diciptakan El. Dia bermaksud hendak mengundang kami menemuinya.

Aku bingung. Aku lihat Kathmandu. Dia juga telah bersayap. Sama sepertiku. Sayap hitam, kokoh, kekar.

Aku belajar menggepakkannya. Agak berat, susah untuk dikepakkan. Namun, kerinduan kepada El, membuatku terus berusaha. Aku ingin bertemu dia, yang selalu aku sebut namanya, saban hari, ribuan kali.

El, aku rindu.

Tubuhku sedikit terangkat. Aku belajar terbang. Sehasta demi sehasta, aku melawan gravitasi yang menarikku ke pusat bumi. Aku akan terbang. Melewati langit dan bintang-bintang. Aku akan bertemu El, dia yang aku rindu.

Aku pun terbang. Aku hendak mencapai pintu-pintu langit. Aku…

Akh. Mengapa tiba-tiba bulu sayapku rontok. Entah, otot sayap ini terasa begitu rapuh. Semakin aku kepakkan semakin terasa sakit punggungku. Aku seperti tidak berdaya.

Kathmandu. Mengapa dia terus terbang. Mengapa aku tidak bisa?!

Kathmandu. Tunggu aku!” Pekikku. Aku takut ditinggal sendiri. Aku juga ingin ke sana.

Dapat aku lihat, Kathmandu melirik ke arahku, lantas menggeleng. Setan!

El, tolong!” Aku ketakutan semakin menjadi.

Kathmandu terus naik ke atas. Selaksa burung hitam yang membentuk pusaran pun semakin ke atas. Mereka meninggalkan aku! Langit pun tertutup sudah.

Aku terhenyak. Mengapa?

El, mengapa?!

KAMU MEMANGGILKU KARENA INI MEMBUKTIKANKU. TEMANMU, KARENA DIA MERINDUKAN AKU.

Aku terdiam. Segalanya terasa menyesakkan. Terlambat.

Entah mengapa, kerinduan hebat menyelimutiku. Begitu teramat rindu.

El, aku rindu. Sebenar-benar rindu. Kelak, jika engkau memanggilku lagi, jangan berikan aku sayap tumpul. Jangan cegah aku untuk berada di sisimu. Kerinduanku, teramat hebat adanya.