Antri Woy!

Beberapa hari yang lalu aku sungguh kesal. Sangat kesal! Darah rasanya naik ke ubun-ubun, tetapi aku tidak pernah bisa marah. Ketika aku mau marah, aku biasanya lebih sering memendam rasa amarah itu sendiri. Persoalannya sepele dan aku rasa hampir selalu terjadi di negeri yang “ngakunya” teramat kaya. Sebuah kejadian sistemik yang sulit sekali dibangun di dalam jiwa-jiwa penduduk negeri ini: “ANTRI“.

Setiap orang ingin cepat selesai. Ingin menjadi nomor satu tanpa mau menunggu. Dan setiap orang, dengan keegoisannya, selalu datang telat namun selalu ingin selesai cepat.

Kata Antri menjadi momok. Kadang aku suka sebal, dengan orang-orang yang tidak ingin mengantri. Bagiku, rasa kemanusiaan mereka sedikit terkikis, bahkan aku memasukkan mereka ke dalam kategori bebal yang bertambah-tambah. Dan parahnya lagi adalah mereka yang menitipkan antrian kepada mereka yang sudah lebih dahulu datang dan berada di depan.

Sungguh keterlaluan sekali aksi manusia yang tidak ingin ikut mengantri namun meminta jatah roti. Mereka yang tidak antri santai saja menunggu di pojok-pojok dingin tempat mereka berteduh, duduk leyeh berleha-leha, sedangkan orang yang antri harus siap berpanas ria dan kakinya gemetaran karena terlalu lama berdiri.

Hal yang aku ceritakan di atas bersetting di sebuah gedung yang bernama RKU 2 di Universitas Syiah Kuala. Waktu kejadian adalah saat sedang mendaftarkan diri untuk ikut serta dalam wisuda. Ada beberapa orang yang aku lihat, merasa punya kolega, kenalan, lantas seenaknya saja menitipkan lembaran mereka ke orang yang berada di depan. Dan mereka dengan terkekeh-kekeh tertawa bersenang-senang di atas penderitaan orang yang sedang antri di bawah terik matahari yang berkepanasan. Mirisnya, sebagian kelakuan itu dilakukan oleh mahasiswa fakultas kedokteran yang notabene lebih unggul daripada fakultas yang lain.

Kelakuan mereka itu berdampak sistemik. Membuat orang lain yang baru datang juga ikut menitipkan kertas pengesahan mereka tanpa ingin berantri. Bukan itu saja, akibat kelakuan pesong dan tidak ber-adab mereka itu, membuat antrian menjadi macet. Sungguh keterlaluan sekali.

Pesong-nya lagi adalah, itu petugas yang ada di depan mau-mau saja menerima barang titipan itu padahal mereka adalah ujung tombak agar sistem berjalan dengan tertib dan terkendali. Sungguhlah pesong negeri ini.

Yang aku miriskan lagi adalah, seorang cewek berjilbab lebar ikut andil dalam peristiwa kaplat tersebut. Aku tidak tahu apakah dia memang berjilbab lebar doang atau juga ada ikut pengajian? Kalaulah dia telah ikut pengajiaan “haloqah” kenapa juga dia ikut berpesta ria di atas segenap penderitaan mereka yang mengantri di bawah terik matahari.

Seorang kakak tiba-tiba memaksakan barang titipannya itu kepadaku saat aku telah ada di barisan depan. Aku katakan dengan tegas “Antri kak!”, merasa tidak mendapatkan angin, mereka pun beralih kepada korban yang lain.

Kadang aku ingin mengutuk. Terkutuk mereka yang tidak ingin mengantri. Terkutuk mereka yang menerima barang titipan haram itu. Terkutuklah!

Aku sangat kesal dengan peristiwa tersebut. Dan aku bingung, bagaimana membangun watak bangsa ini dari hal yang malah aku anggap sepele ini. Bangsa ini bangsa besar! Bangsa ini berpikir terlalu besar sehingga masalah antri saja luput dari perhatian. Bagaimana kita bisa membangun hal yang besar jika perkara kecil remeh seperti ini tidak bisa hadir di dalam diri kita sendiri?!

Lagaknya seperti aku tahu darimana sumber malapetaka itu datang. Adalah dari mereka yang tua-tua. Aku lihat, bahkan ibu-ibu yang sudah tua yang ingin wisuda itu pun tidak ikut mengantri. Mereka merasa sudah sudah, lebih diprioritaskan, dan merasa lebih besar dari sebagian lulusan fresh graduate, sehingga mereka tidak juga antri. Miris, sebagian yang tua-tua itu adalah guru.

Jadi lengkaplah sudah. Kita diajarkan oleh guru yang bahkan mencontohkan sesuatu yang tidak baik. Bagaimana seorang guru mampu mendidik anak-anaknya jika mereka saja tidak mampu mendidik diri mereka sendiri.

Apakah bangsa ini masih memiliki harapan? Bahkan jika perkara antri saya tidak bisa diharapkan.