RONTOKKAN SAJA LANGIT!
Tiba-tiba saja lelaki itu berteriak demikian. Keras, tegas, menggetarkan. Teriakan yang bukan hanya dari kerongkongan atau suara yang menyapu laring-laring. Itu teriakan hati, sebuah pemberontakan jati diri.
JIKA DIA MENJADI PENYEKAT ANTARA AKU DAN TUHAN, LEBIH BAIK LANGIT ITU RUNTUH.
Tersigap, aku mulai menepuk pundaknya. “Mengapa kau menghujat langit wahai lelaki?”
Lelaki itu tidak berpaling, pandangannya tetap menuju atas langit. Aku tahu, dia tidak memandang awan yang menggumpal putih di sana. Lelaki itu menatap jauh melewati awan, melewati atmosfir bumi, melewati ribuan bintang dan planet, melewati galaksi. Dia menatap ke atas, langsung menatap mata Tuhan.
MUNGKIN JIKA TUHAN ITU DI LANGIT, DIA AKAN TURUN JIKA RONTOK SUDAH LANGITNYA.
TUHANKU BUKAN TUHAN PENGECUT, TUHAN YANG CUMA MAMPU MELIHAT DAN MENGAWASI, TETAPI TUHANKU ADALAH TUHAN YANG SELALU DEKAT DENGANKU, MALAH LEBIH DEKAT DARIPADA URAT NADI.
Telunjuknya mengacung ke atas, seolah menunjukkan dirinya di hadapan Tuhan. Dia ingin Tuhan menghilangkan semua pengawasannya kepada semua makhluk, dia ingin agar hanya dia yang diperhatikan. Mungkin khusus untuk saat ini.
BIARKAN SEMUA ORANG TAHU, TUHANKU BUKANLAH TUHAN LANGIT. MAKA JIKA RONTOK LANGIT ITU, SIRNALAH TUHANKU.
TUHANKU JUGA BUKAN TUHAN BUMI, MAKA JIKA BUMI TELAH LULUH-LANTAK BINASALAH TUHANKU.
TUHANKU ADALAH TUHAN LANGIT DAN BUMI, TUHAN YANG TETAP ADA WALAU KETIKA LANGIT RONTOK DAN BUMI TELAH SIRNA.
“Mengapa engkau berani berbicara keras terhadap Tuhanmu? Tidakkah engkau takut?” Hardikku.
“Aku takut,” suara lelaki itu melemah. “Tidakkah engkau melihat bagaimana lututku bergetar karena takut, namun aku tidak punya pilihan. Aku harus bertemu Tuhanku, aku harus mempertanyakan atas dasar apa Adam tercipta dan bumi digelar. Hingga aku harus hidup dalam dunia penuh kemunafikan.”
“Apakah harus dengan cara demikian?” Tanyaku.
“Aku tak punya pilihan.”
Rintik mulai menderas, padahal hari begitu terik. Bagaimana hujan tercipta sedangkan mendung tak ada? Apakah mungkin ini jawaban Tuhan?
Lantas bumi pun bergetar, gedung-gedung mulai runtuh dan tanah terpecah. Langit menjadi merah, sebenar-benar merah dan bukan jingga. Bergetar bumi sedemikian hebat hingga semua orang berteriak, memaki-maki lelaki itu yang baru saja mencaci Tuhan.
“Ini semua salahmu wahai lelaki, Tuhan menurunkan bala karena engkau telah berani menghardiknya.” Ucap salah seorang yang berjongkok ketakutan.
“Tuhan, musnahkan saja lelaki itu. Jangan hukum kami karena kesalahannya, kami tidak bertanggungjawab atas apa yang dikerjakannya.” Ucap lelaki yang lain.
Suara auman terdengar begitu keras berasal dari langit. Langit yang merah terpecah, seperti retakan pada atap-atap rumah. Aku mampu melihat bermilyar bintang dari langit yang terpecah. Apakah ini kiamat?
Sungguh pada hari itu, semua orang menjadi panik. Anak-anak menangis tak karuan, wanita-wanita menjerit dan para lelaki berteriak.
Bergetarlah langit dan semua ikut bergetar. Retaklah langit dan semua pun retak. Tanah merekah pecah.
Dari langit yang terpecah, kulihat api menyambar dengan cepat. Api itu berwarna putih, tak seperti api bumi. Api itu menyambar lelaki itu.
Lelaki itu menghilang, lenyap bersamaan dengan lenyapnya api dari langit. Bumi kembali menutup, dan langit kembali bersih. Merah telah hilang diganti biru, dan redalah semua teriakan-teriakan manusia.
Aku ingat, sekejap sebelum api itu menyambar lelaki tersebut, lelaki itu berpaling ke arahku dengan wajah tersenyum.
“Aku akan bertemu Tuhan,” ucapnya lirih.
Rontokkan Saja Langit…
Tidak! Belum saatnya. Aku masih menunggu seribu lelaki yang akan berucap sama dan kejadian ini akan terus terulang, mungkin untuk seribu kehidupan yang akan datang.
Langitku memang sudah tua, namun belum waktunya ia runtuh dan manusia dihakimi. Pasti hanya Tuhan yang tahu, kapan ajalnya langit ini.
RONTOKKAN SAJA LANGIT. Aku ingin mendengarkan kata itu untuk 1000 tahun yang akan datang. Mungkinkah?