Futur

Futur…

Entah mengapa, semakin lama aku merasa imanku ini semakin meruntuh. Dia tidak turun teman, tetapi dia meruntuh. Meruntuh seperti longsoran tanah yang tak kokoh menahan beban. Meruntuh seperti awan yang terseret garam. Imanku benar-benar meruntuh.

Aku pernah berkata kepada salah seorang temanku, “Sahabat, mungkin aku satu-satunya generasi gagal tarbiyah.”

Walau dihadapan teman-temanku aku masih sering tertawa, namun hati ini menangis. Setiap malam di sepertiga malamku aku merajuk. Betapa aku ingin Tuhan tidak membolak-balikkan hatiku sedahsyat ini. Aku selalu memohon keimanan lebih, karena aku menyadari betapa kurangnya diriku.

Terkadang aku iri, iri melihat cara mereka menundukkan pandangan. Aku iri melihat betapa kuat hati mereka seperti baja. Aku iri melihat betapa mereka mampu menjaga keistiqamahannya. Aku benar-benar iri, saat aku berdiri dalam rantai yang kuat, rantai persaudaraan, aku hanya menjadi beban mereka, hanya menjadi kait yang begitu lemah.

… dan segalanya bermula dari pikiran …

Tahukah kamu teman, bagaimana pikiranku berfluktuasi tak menentu oleh arah. Tahukah kamu bagaimana rasanya itu? Mungkin jika setitik iman tak pernah menyentuh nuranimu maka kamu akan beranggapan bahwa dirimu adalah seorang reformis sejati, bahwa dirimulah sang pembaharu yang ditunggu. Begitu banyak berjuta pemikiran yang menghantui kepala ini, teramat banyak.

Sungguh…

Sungguh-sungguh-sungguh-sungguh…

Ingin air mata ini menetes, membanjiri bumi ini melebihi tujuh samudera yang telah membalut bumi. Ingin rasanya mengoyak-ngoyak jasad ini.

Aduhai, alangkah lebih baik rasanya aku mati sedari kecil atau menjadi tanah saja atau serupa rumput-rumput kering yang terbakar oleh matahari. Menjadi seperti itu adalah berjuta lebih baik dibanding kondisiku saat ini.

… dan buhul-buhul yang terlepas …

Dulu, tangan-tangan ini saling bergandengan. Dulu, tangan-tangan ini saling kait-mengkait. Seolah begitu kuat tak pernah lepas seperti terikat oleh sesuatu kekuatan Mahadasyat yang tak berupa dan berwujud.

Dulu, bibir-bibir ini saling bertasbih memuji. Dulu, bibir-bibir ini saling mengingatkan khilaf yang terjadi.

Dulu, telinga-telinga ini menjadi pendengar yang terbaik. Dulu, telinga-telinga ini selalu ada untuk mendengarkan segala keluh-kesah serta perasaan gundah.

Dulu, kaki-kaki ini begitu tegar berdiri. Dulu, kaki-kaki ini tak akan pernah letih berjalan demi mencari ridha.

Duhai, andai aku sedari dulu mati. Duhai, andai saat-saat indah itu Dia mencabut nyawa ini maka aku siap, namun sekarang segalanya telah berubah. Dan kematian pun menjadi momok yang menakutkan.

… dan mata melakukan kesalahan terbesar yang menghancurkan hati …

Berawal dari pandangan, lantas turun ke hati. Berawal dari rasa suka, lalu titik-titik itu berkumpul menjadi luka. Menjadi penyakit. Fitrah yang seharusnya beralih menjadi monster yang menakutkan, namun tak mampu melawan. Begitu melenakan.

Tuhan, maafkan aku atas perasaan yang kuanggap cinta ini. Maafkan hamba-Mu ini.

… dan kaki terseret melangkah …

Futur…

Bidadari, andai engkau tahu apa yang terjadi pada diriku. Sesungguhnya manusia yang sedang berbicara denganmu ini adalah lebih buruk daripada manusia yang sedang engkau bicarakan. Sungguh aku lebih buruk dari gupma-mu itu.

Andai engkau tahu wahai bidadari. Aku pun menjadi ragu apakah dirimu masih sudi berteman dengan diriku? Bukankah aku pernah menangis dihadapanmu betapa kotornya diriku. Dan aku menjadi lebih kotor bahkan lebih buruk daripada saat aku bercerita kepadamu.

Ahh bidadari. Apakah aku masih sudi menatap langit mengharapkan? Apakah diri ini masih layak untuk berjalan dalam buhul persaudaraan?

Maukah engkau menjawab?