Kesombongan Dan Penghargaan

Hidup baru saja memberi pelajaran baru padaku beberapa hari yang lalu, pelajaran; kesombongan dan penghargaan. Suatu pelajaran yang memang awalnya agak mengusik namun setelah kurenungkan mampu memberikanku pengalaman baru, konsepsi dasar manusia.

Jika manusia merasa statusnya meningkat, maka di sana akan timbul sikap ingin dihargai dan sekelumit kesombongan. Aku mengatakan sekelumit kesombongan karena aku sendiri tidak terlalu memahami sejauh mana kesombongan yang terdapat pada manusia-manusia seperti itu.

Jujur, penilaianku ini adalah generalisasi terhadap manusia walau kenyataannya apa yang kualami adalah hanya satu kisah nyata dan dilakukan hanya oleh satu manusia. Namun aku rasa wajar saja jika aku mengeneralisasikannya. Sah! Toh ini tulisanku.

Kisahnya terjadi pada hari minggu, 16 November 2008. Berawal dari kepulanganku ngopi setelah lelah mengadakan pelatihan blogging gratis untuk anak-anak SMU bersama kawan-kawan Aceh Bloggers.

Saat itu magrib, aku baru saja selesai ngopi di Cekmi. Aku pulang dengan Agung, anak KPLI Aceh. Di lampu merah Jambo Tape, arah mau ke kota, aku bertemu dengan Bang R. Bang R ini adalah sosok yang ingin ku ceritakan tentang konsepsi manusia menurut pandanganku terhadap kesombongan dan penghargaan.

Lama sudah aku tidak bertemu dengan Bang R. Kangen, rindu, terlebih aku melihat dia membonceng seorang wanita. Spontan aku bercanda dengannya sambil tertawa, “Bang R, shalat dulu, jangan pacaran. Udah magrib.

Bang R tersenyum, dan aku pun tertawa. Di situ, tidak ada masalah. Namun kejadian berikutnya adalah apa yang harus ku kritisi.

Sesampai di rumah, aku menerima sms dari Bang R. Isinya: “Cam anjenk ko ben bkn malu aq. Aq tngu d kntor aq mau? Kt bwt perhitungan skrg. Babi!

Reaksiku? Jelas aku terkejut. Tidak pernah menduga kata sekasar itu akan diucapkan olehnya karena selama ini aku merasa Bang R adalah sosok yang baik. Yah selama ini, sebelum dia bekerja sebagai PNS di kantor pemerintahan.

Untuk menetralkan suasana, aku membalasnya: ”Jangan marahlah bang, becanda tadi itu.

Sepertinya Bang R belum puas, sambungnya: ”Kau becanda aq serius. Ngomong ko yg bgus dkit jgn d dpn umum KAMPRET. AKU TNGU KAU D KNTOR AQ, GERAM X KULIAT KO.

Melihat sms itu aku cuma tersenyum, ah… manusia. Aku pun terjatuh tidur karena kecapaian dari pagi hingga jam 6 sore ikut berpartisipasi mengadakan pelatihan blogging tersebut di Telkom.

Ternyata selagi aku tidur, sms berikutnya datang lagi. ”HOI BABI AQ SLL INGAT KEJADIAN TD. AWAS KO KLAU JUMPA. KU TAMPAR MULUT BACOT KO.

Sekitar jam 22.30 aku baru melihat sms tersebut. Aku membalasnya: ”Maaf baru baru bangun, kecapaian ngadain pelatihan blogging. Maaf lah bang, aku minta maaf.

Balasanpun datang, ”KAPLAT ko! ANJENG!!

Lanjutnya, ”EG USAH SOK BAEK KO SETAN!! AQ TAU KO. ENAK AJA KAU NGOMONG KYK GT D MUKA UMUM!! KO TAU TD AKU TRBURU2 PULANG MAU SHALAT, DTNG KO BLG YG EG2 D MUKA UMUM. PUKAIMA!!! MEMANG MANUSIA MACAM KO! BLG UTK ORG YG JELEK, TP EG TAU YG SBENAR-A.

Reaksiku? Aku mendiamkannya. Memberi angin atau minyak pada api hanya akan semakin menambah nyalanya. Sikap reaktifku adalah mendiamkannya, membiarkannya kecapaian dilanda amarah dan setelah itu rasa marah pun akan hilang. Rasa amarah itu akan sirna.

Namun ada satu kekecewaanku, yaitu sikap Bang R tersebut. Namun sikapnya itu memberiku pelajaran: tentang kesombongan dan penghargaan.

Dengan statusnya sekarang, Bang R bukan lagi seorang pengangguran dan statusnya pun meningkat. Di saat itu maka timbul sikap ingin dihargai. Dan sikap itu juga dibarengi dengan sikap kesombongan. Coba ingat bagian ketika aku meminta maaf, namun reaksinya bukannya memaafkan namun semakin memaki.

Ingin ku balas smsnya begini, ”Sombong! Manusia sombong! Bahkan Tuhanmu memaafkan, mengapa kamu ga memaafkan. Sejak kapan kamu menjadi Tuhan? Apa sudah merasa Tuhan dirimu?

Namun setelah dipikir-pikir, reaksiku akan menimbulkan akibat yang berlebihan. Kalimat tersebut jika ku kirimkan akan semakin menekan ego penghargaannya. Jadi mendiamkan tanpa mengubris adalah jalan terbaik.

Mungkin baginya terangkatnya status dan bergaulnya dengan kalangan yang merasa status sosial tinggi membuatnya tidak siap, jadi sedikit candaan yang tidak terlalu berarti akan berakibat fatal bagi ego penghargaan dirinya. Padahal jika kalimat tersebut ku ucapkan dulu, hal yang terjadi kemarin tidak akan terjadi.

Ah, manusia-manusia. Semakin aku melihat manusia aku semakin melihat kekompleksan mereka, entah itu sikap, tabiat, atau watak. Padahal sejatinya mereka itu sederhana, makhluk yang tercipta dari satu sel kemudian membengkak. Makhluk yang sedikit istimewa dengan diberi nafsu dan akal oleh Tuhan.

Aku sekarang sedang mempertimbangkan sikapku pada Bang R. Apakah aku tetap berlaku biasa atau menjauhkannya dari hidupku. Yang aku benci bukan dia namun sikap sombongnya itu dan penuntutannya ingin dihargai.

Ada komentar?