Apakah aku sedemikian buruknya?
Episode-episode pertanyaan berjejal di tempurung otakku. Memintaku menjawab semua tanya yang muncul, entah itu dari logika atau dari rasa.
Kadang aku merasa begitu amat buruk, terlebih ketika seseorang mulai berjalan membelakangi punggungku ke arah yang berbeda. Ketika seseorang yang selalu tersenyum mulai memudarkan senyumnya kepadaku. Atau, ketika sentuhan yang langsung menyentuh dadaku mulai ditarik pelan-pelan. Aku bertanya: apakah aku sedemikian buruknya?
Hingga berapa lama waktu untuk mengingat tersedia?
Pertanyaan yang lain tiba. Datang, sejengkal demi sejengkal. Menunggu waktu untuk sebuah jawaban. Hingga kapan waktu untuk mengingat tersedia? Aku tidak tahu berapa lama total waktuku tersedia di dunia, jadi aku akan bertanya hingga kapan episode mengingat itu memperkosa hidupku, menahan semua ingatan lain yang hendak muncul.
Aku bahkan lupa, kapan aku mulai mengerti ketika aku melihat sesuatu. Kapan aku mulai paham ketika aku mendengarkan sesuatu. Kapan aku berani untuk berbicara, tentang kata yang sepatah-sepatah. Aku teramat lupa.
Dan aku pun lupa, kapan aku mulai berani mengeja nama Tuhanku itu. Atau, ketika aku mulai berani berbisik lembut di telinganya: “Tuhan, aku cinta kamu.”
Atau ketika Arasy goyang, ketika seorang anak mulai berani merangkak ke langit, mendekatkan bibirnya ke telinga Tuhan cuma untuk membicarakan episode percintaan. Tuhanku tidak marah, kami dalam posisi yang sama, saling tersipu malu.
Apa itu cinta?
Suatu ketika, Tuhan bertanya padaku. Sepertinya Dia begitu serius. Atau mungkin cemburu. Dia bertanya, “Apa engkau mencintaku?”
Aku yang teramat sering berbisik tentang cinta kepada Tuhan tiba-tiba saja terbungkam. Inginku menjawab seolah terkunci di ujung lidah. Kelu, teramat kelu. Aku gemetaran, aku bingung hendak menjawab apa. Aku pun menangis.
Umur telah memberiku semua jejak pengalaman. Memberi aku dewasa tentang arti semua ucap. Dulu, ketika aku masih polos, mungkin aku dan Tuhan akan sama-sama tersipu ketika kami berbicara cinta. Namun, kini?
Episode pertanyaan kembali muncul. Apakah aku mencintai Dia?
Cinta butuh bukti. Apakah kamu akan dibiarkan berkata cinta, tanpa Aku uji? Tuhan menuntut bukti.
Karenanya aku seperti bungkam ketika Dia bertanya. Lidahku memang selalu menyebut namaNya. Hatiku akan selalu berdesir ketika orang-orang berbicara tentangNya. Dan aku akan panas-dingin ketika beberapa orang berteriak dengan namaNya. Dan aku akan murka ketika orang-orang mulai menjelek-jelekkan namaNya. Tetapi Tuhan ingin lebih dari semua itu. Dan aku tidak punya bukti.
Aku tidak tahu, apa yang bisa kujadikan bukti bahwa aku teramat mencintaiNya. Bahkan ketika nama seseorang mulai menggeser namaNya. Aku kebingungan.
Bagaimana aku tidak malu, ketika Dia memintaku berdiri dan pergi, aku tetap duduk santai. Aku cuma orang-orang yang sedang bernyanyi tentang percintaan, hanya bernyanyi.
Sejumlah episode pertanyaan masih berjejal. Menunggu waktu yang tepat untuk dijawab. Namun ketika Tuhan menyindirku dengan sebuah pertanyaan, aku semaking tidak tahu apa yang hendak aku katakan.
Tuhan, masihkah aku mencintaiMu atau aku telah mencintai nama lain yang menggeser namaMu.
Episode pertanyaan: sedemikian burukkah aku, berapa lama, cinta, dan Tuhan.