01:29:25

Satu jam, dua puluh sembilan menit, dua puluh lima detik. Selama itu waktu yang aku habiskan untuk menghubungi temanku yang tersisa di mana aku bisa curhat sepuasnya. Thank you Aik.

Dari magrib aku sudah ingin menghubunginya, tetapi ternyata kartu simpatinya sudah habis umur. Memang itu si Aik, tidak pernah pula dia isi pulsa agar si kartu merah dengan seratus juta pelanggan itu memperpanjang sisa umurnya. Sadis! Memang si Aik itu kelewat sadis. Akhirnya diputuskan akan digunakan handphone nyokapnya untuk kutelepon. Tetapi, ternyata eh ternyata bokap dan nyokapnya sedang kedokter.

Baru, pukul 22:49 WIB aku menghubunginya. Di tengah badai kantuk yang melanda kami berdua.

Setelah menye-menye sebentar, meringkuk cengeng yang dibuat-buat, akhirnya si Aik mulai bersuara. Dia membuka mataku tentang hal-hal lain di luar jangkauanku yang memang belum terlalu dewasa dalam menyikapi sesuatu. Memang si Aik sudah kelewat over dosis memakan asam garam kehidupan, makanya badannya itu subur tambun tidak terbantahkan.

Ternyata duga prasangkaku dibantah olehnya. Yang bagiku tampak seperti sebuah keragu-raguan, di matanya dianggap sebagai sebuah ujian melalui sebuah pertanyaan atau tingkah yang menjengkelkan. Atau seperti candaan yang sebenarnya bisa saling lebih mengakrabkan.

Aik meminta aku untuk lebih dewasa dalam mengatur sikap. Katanya lagi, aku harus mulai berani mengambil keputusan. Jangan terus bertingkah seperti layaknya seorang banci. Sial, si Aik memang selalu mengatakan aku bencong, dan aku menyebutnya si sotonk, atau kupanggil dia dengan panggilan kesayangan: “tonk, tonk, tonk…

Harusnya aku lebih tegas. Bertanya jika ada yang tidak aku senangi, maunya gimana. Jangan malah terus berlari dari masalah sebenarnya yang seharusnya dihadapi.

Lanjutnya lagi. Aku pun seharusnya tidak membuat sebuah masalah yang sebenarnya kecil menjadi besar dan berlarut-larut. Tingkahku yang aku jabarkan dan aku kronologiskan kepadanya dianggap sebagai sebuah tindakan kekanak-kanakan dan terlalu kecil. Harusnya aku dewasa dalam menyikapi itu.

Aku sadar. Aku gegabah. Terlalu emosional dalam menyikapi sesuatu. Merasa apa yang aku lakukan ini adalah suatu kebenaran padahal bisa jadi bukan. Apa yang aku pikirkan tidak sama dengan yang orang lain pikirkan.

Well. Katanya, lebih baik aku menunggu. Agar semua perasaan yang berkecamuk kembali mereda. Agar kedua pihak saling bersihadap dalam suasana yang lebih santai dan dingin, juga dengan kepala yang terbuka.

Tadi sore aku mencoba mencari teman untuk aku pintakan solusi, namun yang aku dapatkan cuma tertawaan. Ah. Memang si Aik adalah teman terakhirku yang bisa aku mintakan pendapat dan curhat sepuas hatiku. Walau kami sama-sama sering saling berbantahan, tiada hari dalam pertemuan tanpa dibarengi dengan saling olok dan menjelekkan. Namun, Aik tetap menjadi teman terbaikku.

Sebulan yang lalu katanya dia mau ke Aceh karena ada tugas kantor untuk mengaudit sebuah LSM, namun tidak jadi. Dia digantikan temannya dan sebaliknya malah ditugaskan ke Kalimantan. Sayang sekali, padahal aku ingin bertemu dengan temanku itu.

Dasar si Aik, sotonk. But, anyway. Thanks ya Aik, udah kasih aku pencerahan dan bikin aku lebih tenang sekarang. Aik, teman terakhirku di mana aku bisa curhat sepuas hati tanpa harus ditertawakan dan tahu di mana menempatkan posisi. Sekali lagi, terimakasih.