Rindu dan Gila

Kerinduan. Berjalan pelan-pelan di antara hati kita. Walau kita sama-sama berdiri dalam keberdiaman, jauh dari suatu kebisingan. Aku dan kamu yang saling jatuh rindu. Sama-sama yang saling jatuh gila.

Bagaimana jika aku rindu?” Seseorang kembali bertanya.

Aku diam. Entah mungkin bisa dijabarkan lewat seribu bahasa. Yang jelas, aku cuma mampu diam. Karena jika aku berbicara, aku tidak akan mampu berbicara dengan satu bahasa. Butuh banyak bahasa untuk mengungkapkan kerinduan. Jika dipaksakan cuma satu bahasa, yang ada cuma racauan. Ricuh bertubi-tubi dari bibir yang tidak lagi mampu akulturasi dengan otak yang dihimpit beban.

Kadang, jika demikian aku akan bertanya. “Apa kau rindu aku?

Baca Selengkapnya

Menakar Rindu

Menakar rindu, namun tak pernah kunjung usai. Terus menderai, tak jua dia mereda.

Aku rindu. Apa engkau tahu?

Dari semalam mataku tak mampu juga tertutup. Kepalaku serasa ingin pecah. Namamu menderai memenuhi selaksa selaput korteksku. Aku hapalkan namamu agar aku reda, agar terlelap aku lantas memimpikan kamu. Namun tidur semalam tak pernah ingin bersahabat. Dia menjadi penentangku setentang-tentangnya: dia ingin aku alpa soal kamu.

Aku berontak. Aku luluhkan seluruh saraf yang berjejal di sekujur kulit ototku. Aku memaku napas-napas berlahan, dari perut dia aku masukkan lantas melalui mulut aku buang. Mataku terpejam, tegak punggung dengan posisi bersila. Namamu, aku sebut pelan-pelan di atas bayang. Namamu yang tak kunjung usai, tak pernah mati, nan abadi.

Aku rindu. Apa engkau tahu?

Baca Selengkapnya