Terhitung sudah 4 hari aku di Malaysia, setelah mendarat pada hari Minggu di Bandara Internasional di Kuala Lumpur. Malaysia menurutku indah, untuk sebuah kota besar namun dengan tingkat kemacetan yang rendah jika dibanding dengan Jakarta dan suasana jalanan yang sangat mendukung orang untuk bebas bepergian dengan kaki.
Di Kuala Lumpur, aku melihat banyak orang yang patuh dengan lalu lintas. Itu yang membuatku salut. Traffic light yang telah maju serta aturan jalanan yang luar biasa. Di sini bahkan aku ada melihat jalur khusus untuk sepeda motor, orang-orang sini menyebutnya dengan “motor sikal”.
Menariknya lagi, stasiun bus pun hampir mirip seperti Bandara, sangat jauh berbeda dengan yang aku lihat di Indonesia. Mungkin itu khusus untuk Kuala Lumpur, karena di Penang waktu mau menyeberang ke Ipoh, stasiun bus juga tidak seindah di KL, tetapi masih lebih tertip dan terata rapi.
Lebih menarik lagi adalah, jalanan di sini bersih, tidak macet, orang-orang tertip dan mentaati peraturan, juga aku tidak takut akan di-tokoh-i atau ditipu di sini. Hal ini tidak aku dapatkan di Jakarta.
Mengingat banyak dari sahabat di fans page facebook saya adalah orang Malaysia, makanya saya sering memberitahukan posisi saya kepada mereka melalui Facebook, tetapi sepertinya cuma 1 orang yang membalas. Saya tertarik ingin bertemu dengan para sahabat di sini.
Saya di sini mengikuti paman yang akan bertemu dengan para rekan bisnisnya. 2 hari perjalanan awal sangat menarik, saya melihat Malaysia dari dekat, bertemu dengan orang-orang Indonesia di sana, dan berusaha memahami logat, dialek, serta tata bahasa mereka. Kami sering tinggal di tempat penginapan sederhana, saya lebih nyaman di sana. Beberapa hari berikutnya, kami mulai tinggal di hotel berbintang, tentu yang membayari adalah partner bisnis paman saya tersebut. Saya bisa merasakan hidup di Apartment, hotel berbintang cuma di sini. Bahkan makan di restoran seafood yang per kg ikan paling murah adalah ikan patin dihargai RM48/kg.
Saya bermimpi Aceh bisa seperti di Malaysia. Di Penang, lebih dari 50% pendatang adalah dari Indonesia. Daerah itu maju dengan uang yang mengalir dari kantong Indonesia. Kepercayaan mereka terhadap Penang begitu tinggi dengan kesehatan di sana, padahal apa yang Indonesia bisa berikan sebenarnya jauh lebih baik. Miris memang. Kita kalah dengan harga murah dan pelayanan yang bagus.
Dulu Malaysia mengimpor guru dari kita untuk mengajari mereka. Sekarang kita yang mengekspor anak-anak kita untuk belajar di Malaysia.
Saya merasa pasti ada yang salah dengan Indonesia atau mungkin yang terjadi adalah Malaysia terlalu pintar dari kita?
Ada banyak hal yang bisa kita ambil dari setiap perjalanan kita, dari apa yang kita lihat, dengar, sentuh. Saya merasa Indonesia mampu lebih baik dari Malaysia, tetapi suatu kesalahan sistemik sedang terjadi di Indonesia dan saya tidak tahu itu apa.
Yang paling saya suka di sini adalah ragamnya manusia. Saya dengan bebas melihat orang India dan China di sini. Tetapi sayang, kelemahan mereka adalah di bahasa. Sepertinya memang PR besar menyatukan Malaysia dalam satu bahasa, tidak seperti Indonesia dengan bahasanya yang luar biasa.