Kerinduan. Berjalan pelan-pelan di antara hati kita. Walau kita sama-sama berdiri dalam keberdiaman, jauh dari suatu kebisingan. Aku dan kamu yang saling jatuh rindu. Sama-sama yang saling jatuh gila.
“Bagaimana jika aku rindu?” Seseorang kembali bertanya.
Aku diam. Entah mungkin bisa dijabarkan lewat seribu bahasa. Yang jelas, aku cuma mampu diam. Karena jika aku berbicara, aku tidak akan mampu berbicara dengan satu bahasa. Butuh banyak bahasa untuk mengungkapkan kerinduan. Jika dipaksakan cuma satu bahasa, yang ada cuma racauan. Ricuh bertubi-tubi dari bibir yang tidak lagi mampu akulturasi dengan otak yang dihimpit beban.
Kadang, jika demikian aku akan bertanya. “Apa kau rindu aku?”
Aku malu jika setiap kali akulah yang mengumbar kerinduan. Aku bertanya demikian karena saat itu, aku teramat rindu. Membuncah. Sulit untuk ditahan.
Banyak aku mendengar orang-orang menjadi gila. Apa aku termasuk bagian dari mereka. Gila karena kerinduan yang teramat sangat. Gila dengan debar jantung yang semakin tak kunjung menentu. Gila dengan nama-nama yang semua menjadi abstrak dan cuma ada satu nama yang begitu kentara. Gila…
Apakah kau juga sama gila seperti aku gila?
Kadang. Jika kita telah mulai saling berbicara aku akan menjadi diam dengan sendirinya. Aku butuh waktu. Mengatur ritme jantungku. Agar tak copot dia. Aku aku tidak mati karena mendadak rasa bahagia menstimulus jantungku untuk berpacu di luar kewajaran semestinya.
Demi langit, bumi, dan seluruh isinya. Aku rindu. Rindu yang mendekati gila.