Penipu Berkedok Narkoba

Kemarin, pagi-pagi sekali (tidak pagi sekali juga sih, sudah pukul 8.00 WIB) Ayah menggedor kamarku. Saat aku buka, wajah Ayah memucat dengan napas tersengal. Dengan terbata-bata Ayah memintaku hati-hati, baru saja ada orang yang menelepon Ayah mengatakan bahwa aku ditangkap karena penyalahgunaan narkotika dan meminta uang damai Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Penipu yang tidak punya harga diri dan kemanusiaan itu menelepon depot air minum kami (Ayah yang sudah pensiun memiliki usaha depot air minum isi ulang RO untuk membiayai kehidupan kami serta membiayai kehidupan dua kakakku yang sedang mengambil S2 dan spesialis pulmo). Penipu itu mengaku bernama Briptu Eka (aku lupa-lupa ingat siapa nama penipu jadah tersebut).

Aku sendiri tidak khawatir, karena yang namanya penipu itu adalah sekumpulan pengecut yang cuma berani beraksi di balik telepon. Suaranya saja besar dan menggertak, tetapi nyali mereka itu sebenarnya ciut dan mungkin alat kelamin mereka itu tidak memiliki fungsi selain kecuali sebagai aksesoris. Yang aku sayangkan adalah Mamak dan Ayah, mereka sangat-sangat khawatir dengan keadaanku. Mamak yang paling panik aku rasa, malah mewanti-wanti agar aku hati-hati, siapa tahu ada orang menculikku lantas menyuntikkan narkoba ke dalam tubuhku baru kemudian ditangkap dengan tuduhan penyalah gunaan narkoba.

Kemudian Ayah menghubungi sepupuku yang seorang wartawan kriminal dan mengenal beberapa anggota di kepolisian serta menelepon pamanku yang mantan preman (sekarang pamanku tidak preman lagi, karena sudah beranak 4 dan menjadi pegawai bank pusat dengan posisi yang cukup menjanjikan).

Sayang sekali, yang pertama bereaksi adalah pamanku. Dia menelepon si penipu busuk, terkutuk, jahanam, nauzubillah kemudian meminta agar bernegosiasi. Waktu ditelepon, ada seseorang menangis di ujung sana (pura-puranya adalah aku, padahal aku berada di lantai dua mendengarkan apa yang sedang terjadi). Saat anak itu menangis, mulailah sifat preman pamanku keluar. Segala isi kebun binatang hadir di antara komunikasi lewat jalur udara tersebut.

Sebenarnya aku lebih setuju dengan ide sepupuku yang wartawan (sayang, dia terlambat memberikan ide). Agar Ayah bernegosiasi dengan si penipu alay, jadah, maho, banci tersebut, karena mereka tidak berani bertemu langsung mungkin bisa lewat nomor rekening. Dari nomor rekening itu bisa dilacak, kalau soal handphone sekarang ada sistem yang mampu melacak nomor hp itu sedang aktif di BTS yang mana. Dari penelusuran nomor rekening dan handphone, nanti bisa terlacak siapa aktor di balik ini semua.

Untung-untung saja Mamak dan Ayah tidak jantungan atas kejadian ini. Jika sampai terjadi apa-apa dengan mereka berdua akibat ulah penipu laknat, terkutuk, jahanam lihat saja, akan aku cari si penipu tersebut sampai ke ujung akhirat kemudian aku kebiri seinci-demi-seinci itu kelaminnya agar tahu rasa dia. Tidak puas, aku juga akan mutilasi dia menggunakan pinsil, agar dia menahan bagaimana sakitnya badan dipotong-potong dengan runcingnya pinsil. Tidak lupa, kulitnya akan aku gosok kemudian aku siram dengan air mendidih. Belum puas, maka duburnya akan aku tusuk dengan tongkat sapu.

Aku geram sekali dengan penipu tersebut. Mengambil keuntungan dengan cara instan namun tidak berpikir (aku rasa semua penipu memang tidak punya otak) efek yang mereka hasilkan kemudian.

Aku ingin mengintai mereka (nomor si penipu sudah aku simpan). Tetapi aku rasa, lebih baik diamkan saja. Aku malas jika harus masuk penjara karena menggorok leher penipu tersebut.