Tentang Bidadari Ketiga

Rasanya lama sekali, aku tidak memanggilnya dengan sebutan bidadari ketiga. Aku sekarang lebih sering memanggilnya dengan sebutan kamu, atau cuma memanggil dengan sebutan namanya.

Aku kembali ke masa-masa di mana aku memiliki alasan untuk memanggilnya bidadari ketiga. Dia mengajarkan aku apa yang tidak diajarkan oleh kedua bidadari sebelumnya: “mimpi, harapan, keinginan, kehidupan

Akhir-akhir ini aku kembali sering mengunjungi blognya. Kemarin-kemarin aku mempuasakan diri melihat apa yang ditulis olehnya. Sering sekali, tulisannya membuat jantungku berdetak lebih kencang karena seringnya aku menangkap sesuatu dengan tafsiran yang berbeda dengan inti dari sebenarnya yang tertulis. Kadang aku suka cemburu ketika dia menuliskan tentang salah seorang tokoh, atau berkenaan dengan seseorang.

Dari dua bidadari sebelumnya, cuma bidadari kedua yang aku suka. Sedangkan bidadari pertama bagiku adalah seorang teman dekat. Aku menyukai bidadari kedua karena dia memang “good looking” atau manis, yang namanya juga manusia pasti kita menyukai hal yang indah-indah. Tetapi, pada bidadari ketiga, aku menyukainya bukan karena fisik. Awal mengenal bidadari ketiga, aku tidak mengganggap bahwa dia cantik, bahkan sama sekali tidak tertarik.

Namun segala hal mulai berubah. Hingga pada suatu titik aku tidak bisa untuk tidak mengingatnya. Aku pun memendam perasaan itu. Bagiku, kami tidak sekufu. Dia seseorang dengan pendidikan tinggi, sedangkan aku cuma seorang anak malas, bodoh, dan berpendidikan di sebuah universitas murah yang sama sekali tidak terkenal. Dari percakapan kami pun saat itu aku tahu, telah ada seseorang yang mencuri hatinya.

Seseorang yang wajar untuk dicintai, karena keshalehannya, karena kewibawaannya, karena sepak terjangnya, kepintarannya. Adalah wajar saat lelaki yang disukai oleh bidadari ketigaku itu juga disukai oleh orang yang lain. Saat itu, aku tetap berteman dengannya dengan tetap memberikan yang terbaik yang aku bisa.

Aku sangat senang sekali saat awal kami bertukaran kado. Aku masih ingat, aku memberikannya dua buah buku: bunuh diri massal dan edensor. Dia memang menyukai sesuatu yang agak disturb atau horror yang menggelisahkan. Corak musik yang dia suka juga membuatku terperangah: metal. Tetapi hal-hal demikian yang semakin membuat aku terpancing untuk tahu dia lebih banyak.

Bagiku dia orang yang hangat. Aku bisa betah dan menunggunya untuk online agar aku bisa chatting dengannya. Dan saat-saat paling indah adalah saat kami sama-sama mengetahui apa yang dirasakan oleh kami berdua. Saat itu, aku merasa melayang ke surga.

Tetapi ada saat di mana kesenangan tidaklah selalu abadi. Ketika dua orang semakin dekat, terkadang malah lebih mudah muncul konflik. Aku sendiri tidak mengerti, mungkin karena inilah terkadang di dalam keluarga sering muncul perselisihan dibandingkan dengan teman. Ketika dengan teman, kita masih segan atau malu-malu, tetapi terhadap orang-orang terdekat kita, mereka menjadi bagian dari kita, sehingga kita tidak lagi segan untuk bersitegang. Aku merefleksikan ini tentang caraku bersikap di hadapan Tuhan. Kadang, di depan orang-orang aku begitu takut dan malu untuk melakukan dosa, tetapi di hadapan Tuhan walau aku tahu Dia maha melihat, aku tidak lagi segan. Entahlah.

Saat ini, aku merasa kami agak renggang. Mungkin akibat salahku juga. Beberapa waktu yang lalu aku agak diam, sehingga dia merasa tidak diacuhkan.

Malam ini aku melihat fotonya. Entah mengapa energi rindu sepertinya mengalir dengan saat derasnya. Ada hasrat tersembunyi di dalam diriku. Hasrat yang begitu besar dan deras: menggenapkan separuh dien ku bersamanya.