Walau aku tidak lulus tes di PT Chevron Pacific Indonesia, namun aku tetap merasa beruntung. Pada hari itu aku beruntung telah bertemu untuk kali pertama dengan seseorang yang aku sebut “Bidadari Ketiga“. Seseorang yang selama ini cuma aku lihat di internet, cuma saling bertegur sapa lewat alphabet, sekarang juga bisa aku dengarkan suaranya ketika berbicara dan bisa aku lihat secara live bagaimana cara dia tersenyum.
Jauh hari sebelum tanggal 10 Desember 2011 itu, aku sudah kabarkan bahwa aku akan ke Jakarta untuk mengikuti tes Chevron itu, bahkan dia salah satu pemeran pengambil keputusan apakah aku akan ke sana atau tidak? Ada banyak kendala, pertama seperti yang sudah diprediksi sejak awal: aku belum tentu lolos dalam tes perusahaan berskala internasional tersebut, kedua biaya yang besar untuk akomodasi aku ke sana, dan masih banyak pertimbangan yang lain.
Namun akhirnya, aku putuskan untuk berangkat ke sana setelah mendapatkan sebuah email yang masuk ke inbox-ku pada tanggal 8 Desember 2011, dan aku mencari tiket pesawat ke Jakarta pada tanggal 9 Desember 2011.
Mungkin tes Chevron itu bisa dikatakan adalah jalan, sebuah jalur lain yang disediakan Tuhan agar kami sama-sama mengenal satu dengan yang lainnya. Supaya aku mampu melihat bagaimana kondisi real seorang yang sebut bidadari itu dengan sebenarnya.
Orang tua masing-masing dari kami sama-sama ragu dengan chemistry yang sedang terjadi di antara kami. Kami belum pernah bertemu. Dia tidak tahu cacatku dan aku tidak tahu cacatnya. Mungkin saya dia adalah seorang dengan jalan yang berkepayahan, atau lain sebagainya. Seperti umumnya orang tua yang sayang kepada anaknya, masing-masing orang tua kami ragu. Namun, pertemuan itu telah melunturkan satu keraguan. Ini adalah sebuah keberuntungan.
Setelah tes tersebut selesai pada pukul 12.00 WIB, aku menghubunginya dan bertanya apakah dia jadi ke Sentral Senayan? Saat itu dia membalas bahwa dia sedang berada di dalam perjalanan dari Kalibata. Aku menunggunya sekitar hampir satu jam lebih, di sebuah pohon besar dengan hiasan lampu yang cantik. Beruntung dalam 30 menit awal aku ditemani seorang teman alumni perminyakan Trisakti yang sama-sama ikut tes denganku, namanya Maria, jadi aku tidak terlalu hirau menunggu waktu.
Setelah waktu berjalan lama dalam adegan menunggu, akhirnya bidadari ketigaku tiba juga. Dia telepon aku, di mana posisiku? Aku katakan bahwa aku berada tepat di depan pintu gedung Sentral Senayan. Dia tetap tidak tahu, akhirnya aku jemput dia di depan parkiran. Di sana kali pertama aku melihatnya diterpa cahaya yang silau saat aku keluar dari area parkiran, aku seperti melihat seorang bidadari.
Kita akan kemana?
Saat itu aku canggung. Aku sama sekali belum pernah bertemu dengannya secara langsung. Seluruh tubuhku beraksi yang membuat perutku terasa kram, dadaku berdebar, jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya, napasku memberat, aku begitu lelah. Yang jelas kurasakan, wajahku seperti tersiram air panas, wajahku begitu hangat.
Dia pun seperti tidak tahu harus ke mana? Padahal saat itu aku merasa sangat kelaparan. Kami pun berjalan-jalan seputaran Senayan Plaza. Tapi aku tidak berani ke food courtz, aku tidak tahu cara membelinya, maklum anak desa 😀
Kami berjalan-jalan berputar tanpa arah. Bingung. Hendak membeli tapi aku tak punya uang. Aku tipikal cowok yang malas untuk berputar-putar berbelanja, melihat-lihat. Jika aku pergi ke suatu tempat, pastilah ada tujuan. Aku lebih suka pergi ke toko baju, melihat, memilih lantas membeli. Aneh rasanya masuk ke toko lantas keluar dengan polos tanpa ada yang hendak dibeli.
Saat-saat akhir, kami pun ke bawah menuju Hero. Dia mencari sebuah payung, untuk mengamankannya dari panas terik Jakarta yang membara. Aku membantu memilih. Ada banyak pilihan di sana, tetapi aku suka payung dengan gagang berbentuk ninja, tetapi dia lebih suka dengan payung yang bericon kelinci jika tidak salah.
Payung adalah barang terakhir yang dia beli karena saat itu, adik sepupuku sms bahwa dia akan menjemputku. Aku pun bergegas.
Hal yang paling mendebarkan bagiku adalah saat-saat kami melewati area parkiran. Saat itu, adalah saat-saat terakhir pertemuanku dengannya waktu itu. Ingin rasanya aku memberhentikan waktu jika berkuasa, namun aku tidak bisa.
Aku ingin bertemu dengannya lagi. Tetapi mungkin waktu itu akan sangat lama jika dihitung dalam bilangan hari. Mungkin saat pertemuan kedua adalah saat aku menjabat tangan ayahnya.