Kami berdua berjalan diantara pepasir pantai. Aku dan dia, sahabatku. Terkadang kami berjalan bersama diantara riak awan atau menyelam jauh ke dasar samudera. Kami melakukan itu hanya untuk satu hal, berkata dan berbicara.
Sore itu, langit cerah. Sore pantai tak ada panas, hembusan angin sepoi-sepoi mengibarkan ujung-ujung baju kami berdua. Diantara riak ombak kami berjalan bersama, tak memakai alas kaki, begitu terasa di kulit-kulit saraf bagaimana deburan ombak menggelitik.
“Bagaimana?” Dia membuka pembicaraan.
“Apanya yang bagaimana?” Tanyaku tak mengerti.
Melihat reaksiku, dia hanya terkekeh. “Bagaimana dengan si dia, seseorang yang ada di sini.” Ucapkan sembari menepuk dadaku.
Ahh, akhirnya aku mengerti arah pembicaraannya. “Entahlah.” Jawabku datar.
“Siapa namanya? Biasanya kamu menyebutnya dengan sebutan khas.”
“Hah?” Aku setengah terkejut, pecah dalam lamunan. “Taman Surga, namanya Taman Surga.”
“Julukan yang indah. Jika di-arab-kan maka menjadi Raudah Al-jannah ya?”
“Raudatul Jannah.” Ralatku.
“Bagaimana hubungan kalian? Sudah ada peningkatan? Sudah berani melamar ke orang tuanya? Dia minta berapa maharnya?” Tanyanya bertubi-tubi.
Aku terdiam. Kecut.
Andai sahabatku tahu apa yang terjadi, andai dia mengerti apa yang berkecamuk di dalam hatiku.
“Terkadang aku melihat, jika kamu membicarakan dia ekspresimu begitu serius. Dari binar matamu, aku dapat melihat tersimpan cinta yang begitu menggebu. Tanpa disadari, kamu menjadi begitu hidup saat mengingatnya.” Ujarnya lagi.
Hatiku semakin kecut.
“Dia tidak mencintaiku.” Kataku datar.
Aku meliriknya sesaat, sepertinya dia terkejut dengan apa yang kuucapkan tadi.
“Dia tidak mencintaimu?” Tanyanya menegaskan.
“Iya.” Kataku mencoba menahan diri. Terlalu perih hati ini, amat sangat perih.
“Darimana kamu mengambil kesimpulan seperti itu? Mungkin kamu salah duga.” Tanyanya kembali mencoba menegaskan maksudku.
“Iya! Dia memang tidak mencintaiku.” Ketusku.
Dia terdiam, aku juga diam.
Mungkin dia ingin mengambil jeda sejenak agar aku mampu mengontrol diri. Sepertinya dia mengerti ada sedikit ekpresi kemarahan, kekesalan dalam ucapan terakhirku tadi.
“Dulu kamu juga pernah patah hati.” Dia mencoba memecah keheningan sesaat tadi.
“Dulu tak pernah ada ekspresi kemarahan seperti ini. Dulu kamu tetap tersenyum saat patah hati itu. Sepertinya itu bukan sesuatu hal yang besar, namun mengapa sekarang berbeda?” Lanjutnya. “Apakah Taman Surgamu ini terlalu spesial?”
Aku tetap diam. Rasanya diam cukup untuk memberikan semua jawaban yang dia inginkan.
Dia terdiam, aku juga diam.
“Dia mengacuhkanku.” Kali ini aku yang mencoba membuka pembicaraan.
“Mengacuhkanmu?” Tanyanya tak mengerti.
“Iya.” Jawabku sekena.
Kami kembali diam untuk beberapa saat. Dia terdiam, aku juga diam.
“Dulu dia pernah berkata bahwa dia tak meng-sms duluan artinya dia tidak memberikan harapan. Sekarang, dia lebih memilih sms-an dengan pria yang dulu dia acuhkan dan mendiam aku.”Aku kembali mencoba membuka pembicaraan.
“Ada begitu banyak pria yang mencintainya. Diantara mereka bahkan lebih baik dariku. Pasti salah satu dari pria-pria itu telah memikat hatinya. Pasti.” Lanjutku lagi.
Sahabatku tersenyum. “Kamu cemburu Ben?”
Aku menunduk. Diam.
Rasanya diam cukup untuk memberikan semua jawaban yang dia inginkan.
“Namun dia telah berubah. Mungkin dulu dia mencoba berusaha untuk mencintaiku, namun sepertinya hasilnya sama saja. Dia tidak akan pernah mampu mencintaiku.” Aku membela diri.
“Dari dulu, mungkin itu cuma bagian dari empatinya. Dia hanya kasihan denganku yang begitu menyedihkan.” Lanjutku lagi.
“Dan sekarang aku menjadi terlalu mencintainya.” Tak kuat rasanya, kini air mata ini mengucur.
Sahabatku itu menepuk pundakku berlahan. Mungkin sedikit mencoba memberiku ketabahan.
“Lelaki itu harus kuat.” Katanya lembut.
Kami pun kemudian duduk menghadap lautan. Ombak deru-menderu saling menyerbu, sikut-menyikut membantai pasir pantai. Dan buih-buih pun tertumbah dari bibir-bibir pantai yang terluka.
Lututku kuangkat hingga saling tertaut. Tanganku kulingkarkan diantara tulang kering mencoba membalut lutut.
“Kadang aku berpikir wahai sahabat. Tindakannya mengacuhkanku adalah suatu pesan agar aku menjauh darinya. Mungkin itu adalah pesan bahwa sudah tak ada harapan lagi bagiku untuk mendapatkannya.” Aku mencoba berargumen.
“Bisa jadi.” Jawabnya singkat.
“Dia sudah mulai meng-sms pria itu duluan. Apa mungkin dia telah memberikan pria itu harapan? Mungkin dia telah mampu mencintai pria tersebut.” Pikiranku melayang membayangkan.
“Mungkin lebih baik mulai sekarang kamu belajar melupakannya sebelum kamu benar-benar menjadi mati.” Tiba-tiba saja dia berkata demikian.
“Apa aku sanggup?” Tanyaku ragu.
“Apa dengan mengingatnya kamu menjadi lebih baik daripada sekarang? Kamu akan menjadi semakin hancur. Bukankah dengan ini berarti telah tiga kali dia menghancurkan hatimu!” Katanya tegas.
Perih, perih… Teramat perih hati ini. Bahkan berjuta sembilu yang menyayat jantung terasa lebih indah daripada harus merasakan perih seperti ini. Andai ia tahu betapa aku mencintainya. Andai ia tahu…
“Ben, apa kamu meragukan ada pria lain dibalik sana yang mampu membahagiakannya? Apa kamu terlalu takut dia akan kembali menitikkan air mata? Apa kamu ingin agar episode orang tuanya tidak terulang kepadanya?” Tanyanya.
“Bukankah dulu kamu pernah berkata bahwa yang kamu inginkan adalah yang terbaik baginya. Mungkin baginya kamu bukanlah yang terbaik. Mungkin di luar sana dia telah menemukan sosok yang terbaik bagi dirinya, mungkin dia telah menemukan labuhan hatinya.” Lanjutnya lagi.
Aku hanya ingin menjadi manusia di belakangmu.
Saat dirimu kelelahan, aku menyodorkan bangku padamu.
Saat dirimu berjalan, aku menatapmu mengawasi.
Aku tak ingin menjadi yang di depan, yang terus engkau tatap pada itu aku tak mampu menatap.
Cukup hanya bayangmu bagiku, tak pernahku meminta lebih.
Hanya agar engkau bahagia dan terus tersenyum.
Tak peduli pria apa di depanmu yang engkau ikuti.
Cukup hanya satu senyuman untuk masa yang abadi.
“Sahabat, tahukah kamu di Banda Aceh sering mati lampu?” tanyaku tiba-tiba.
“Ya, aku tahu. Kenapa?” Tanyanya tak mengerti.
“Dia takut gelap. Terkadang saat kegelapan itu terjadi aku ingin berada di sampingnya. Ingin kugenggam tangannya agar ia mengerti ada seseorang di sampingnya yang akan selalu menjaganya. Agar sirna takutnya diganti kedamaian.” Jawabku.
Sahabatku itu tersenyum. “Kamu terlalu mencintainya Ben.”
Aku mengangguk pelan.
Pipiku menyandar pada lutut yang tertekuk. Lamunanku melayang menujunya.
Tiba-tiba sahabatku itu berdiri. “Ben, kita pulang yuk”
Aku menatap ke arahnya, lalu ke arah langit. Ternyata matahari telah hendak terbenam. Langit memerah jingga, dan kumpulan burung-burung terbang hendak kembali pulang.
“Ben, bersabarlah. Berdoa agar Allah memberikan kisah yang terbaik bagi kamu dan dirinya.” Ucapnya mencoba memberi semangat.
Ombak-ombak lautan terus berderu tak mengenal rasa kalah. Pagi-siang-sore-malam. Dan pasir-pasir terus tergerus oleh laut yang ingin mengabrasi.
“Ben!” tiba-tiba dia membuka suara. “Tahukah kamu bahwa pepasiran ini bertasbih kepada Allah dengan bahasa yang tidak kita pahami. Lautan itu juga, angin sepoi ini, dan gunung-gunung.”
“Ya, aku tahu. Bahkan aku mendengar pepasiran itu berbisik sesama mereka saling meminta doa agar Allah kuatkan diriku dan meminta kisah terbaik untuk kami berdua.” Balasku.
“Dan Pasir Pun Berbisik” ucapnya.
“Iya. Dan pasir pun berbisik…” Balasku.