Sebuah Garis Lurus

Hampa
Sumber: kerangrebus.com

Seseorang yang aku cintai di dunia ini terkadang bertanya, mengapa aku sudah jarang menuliskan lagi sebuah lagu kehidupan seperti yang dulu-dulu di dalam blogku ini. Dengan berkelakar, aku selalu menjawab: tak ada lagi yang perlu aku tuliskan. Segalanya telah sempurna sejak engkau hadir dalam hidupku.

Aku memang jarang melirik lagi blog ini. Cuma sesekali aku melihatnya. Bayangkan, aku pribadi saja telah malas melihat blog ini, apalagi mereka yang lain? Terkadang aku merasa capek. Terlalu lelah dengan segalanya.

Sudah beberapa hari ini aku merasa begitu datar. Bahkan ketika aku tidak bisa menjawab semua soal UAS (Ujian Akhir Semester) dengan sempurna, aku tidak merasakan apapun, tidak juga kesedihan. Aku merasa datar saja. Teramat datar. Seperti sebuah garis lurus sempurna. Seperti melihat sebuah osiloskop tanpa ritme dan gelombang. Yang terpampang cuma garis datar tanpa akhir.

Kepada seseorang aku katakan sebuah kejujuran: aku merasa hampa sekali. Kekosongan yang tiada akhir. Dan ironi, bukankah dulu ini yang aku cari. Sebuah perasaan kosong tanpa mengenal cinta, suka, bahagia, rasa sedih, dan seluruh nestapa juga nelangsa. Bukankah ini yang selama ini aku cari?

Dan dia — temanku — menjawab: mungkin Tuhan sedang akan mengisinya dengan seluruh kebaikan.

Baca Selengkapnya

Lupa Menjadi Manusia

Maaf. Lama tidak menulis di blog yang mulai lembab, berdebu, dan rapuh ini. Selama aku lupa bagaimana menjadi manusia.

Aku seperti lupa menjadi manusia. Hidup ini rasanya berjalan dengan tidak aku sadari. Selalu menjadi mereka yang alpa. Parahnya, terus saja mengulang hal yang aku pahami untuk seharusnya tidak perlu diulang lagi.

Aku pun seperti mulai gagap dalam memberi sejumlah kata. Tidak ada arus kata yang sama seperti dulu. Sesuatu yang berasal dari hati, dan langsung masuk ke dalam hati. Lupa menjadi manusia membuat aku kehilangan banyak hati. Menjadi kejam dengan segala manusia, menjadi kejam dengan semua keadaan.

Terkadang aku menangis. Manusia yang dulu hadir kini hilang. Diganti dengan sesuatu yang terlalu jauh buruk. Terganti dengan sesuatu yang begitu hampa, tak bermakna, kekosongan, dan penyesalan. Anehnya, aku terus saja mengulang.

Aku merindukan kembali menjadi manusia. Sesuatu yang utuh. Bermakna. Menjaga dari keburukan dan terus menutupi seluruh cela. Sesuatu yang Dia mencintaimu, dan engkau mencintaiNya. Aku rindu saat-saat itu.

Aku benci begini! Tapi terus menetap tanpa mau membuat jejak. Berdiri terpatung, tanpa bergerak menghindari seluruh penyesalan yang terjadi. Aku benci!

Apakah engkau sama, teman? Teramat lupa bagaimana menjadi manusia. Terus saja ikuti seluruh jiwamu yang terkotori. Tidak pernah berpikir untuk mensucikannya. Terus saja mengotori, tanpa pernah menyesali tentang apa semua yang terjadi. Tidakkah engkau benci?

Aku ingin bebas. Tidak terpenjara dengan semua sesal dan kebencian yang mengukung. Mampu bernapas sedalam yang aku bisa. Ingin kembali melihat matahari dengan cahaya yang sama. Apakah engkau juga merasakan seperti yang aku rasakan, teman?

Beratus latin telah aku baca, namun yang ada cuma rasa hampa. Ingin sekali aku memelukmu, memeluk sesuatu yang tidakpun aku tahu apa itu. Hanya ingin memeluk sesuatu yang memberi rasa nyaman, mampu melepaskan seluruh duka dan sesal. Seperti dulu, saat tidur dalam lapisan cahaya.