Aku adalah orang yang tertarik dengan hal-hal mistik setiap agama. Yup, setiap agama apapun juga. Seperti aku tertarik dengan hal-hal di luar kewajaran yang dibawakan oleh Walisongo, atau tentang betapa hebatnya perang Mahabharata. Aku pun tertarik dengan kisah-kisah para Santo, juga sama tertariknya bagaimana Budha menemukan pencerahannya.
Bagiku. Mistis yang di luar logika adalah sesuatu mutiara di mana dalam fana aku tidak menemukannya.
Aku pun bertemu dengan mereka yang mengakui bahwa mereka sufi. Menarik! Karena jarang sekali aku bertemu langsung dengan seorang sufi, terlebih yang mengaku-aku sufi. Mereka yang tidak gelap mata dengan dunia dan segala isinya, karena mereka memandang dunia hanyalah sebagai permainan fana.
Sufi yang nyentrik. Aku menemukannya di twitter. Aneh memang, seorang sufi di dunia twitter. Mentwit tentang apa itu sufistik, bagaimana proses dia ikut suluk dan menjalani hidup tasawuf.
Ada poin penting yang aku ingin garis bawahi tentang perjalanan pembelajaran orang tersebut. Ketika seorang mursyid bertanya dengan selembut bahasa, “Tuhan yang mana?” dan dia bercerita bahwa ketika itu pikirannya seperti dikuras habis untuk menjawab satu pertanyaan itu yang bagi kita menganggap enteng. TUHAN YANG MANA?
Namun, seiring perjalanan aku mulai sedikit gerah. Atau mungkin aku belum cukup mampu menangkap makna yang ada di balik setiap twitternya. Aku gerah ketika sufi tersebut mentwit sesuatu yang bagiku kurang berkenan. Teramat gerah. Terlebih ketika aku seperti merasa mereka adalah sekumpulan orang aneh, dan bangga dengan keanehannya tersebut.
Dan aku melihat dia pun mensufikan orang-orang lain yang aku anggap “keliru” dengan statement mereka. Seolah ada sebuah rasio halus yang mencoba berjejak bahwa seorang sufi itu harus aneh dalam mengikuti dunia ini. Terkadang, mereka pun akan berpatok kepada kisah Musa ketika mengikuti Khiddir. “Sesungguhnya kamu tidak akan sanggup mengikutiku.”
Aku melihat dalam kisah-kisah, sufi adalah mereka yang menolak dunia. Mereka yang ketat dalam mengendalikan hawa napsu mereka, namun mengapa sufi yang ini seperti begitu turut dalam hawa napsunya? Atau mungkin aku salah dalam menilai?
Seseorang bertuhan dengan imannya.
Seseorang bertuhan dengan akalnya.
Seseorang bertuhan dengan napsunya.
Ketika seseorang bertuhan dengan napsunya, maka segala hal akan menjadi rancu. Ketika melihat Tuhan Maha Pengampun, napsu akan berkata: “Tuhan itu pengampun, maka kamu jangan takut untuk berdosa, karena Tuhanmu pasti akan mengampuni.” Seolah mereka seperti lupa Tuhan pun Mahaadil. Tidak akan luput satu dosa yang tidak akan diadilinya.
Demikian pula pemahaman yang serampangan tentang kehidupan. Atau mungkin memang begitu seharusnya dan penilaianku yang teramat salah.
Boleh dikatakan, aku sedikit terkontaminasi dengan kerancuan pemahaman soal kehidupan. Menggampangkan dosa seolah Tuhan akan terus memaafkan aku. Aku seperti sebuah penisbatan: “beriman di pagi hari lalu kembali kafir di sorenya.”
Apakah Allah adalah Tuhan bagi umat Islam saja? Apakah Rahman-Rahiim Allah juga berlaku hanya kepada umat Islam saja?
Bagi sufisme dunia Islam, tentu hal di atas bukan menjadi pertanyaan lagi. Kalau memang demikian, mengapa tidak menggadaikan Islam dan mengambil metode lain untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, misal dengan cara klenik atau pesugihan. Banyak orang yang merasa lebih dekat dengan Tuhan melalui pesugihan, atau aliran kebatinan.
Sufisme itu seperti aliran darah dalam berdikari watak seseorang. Jika seseorang telah mampu mengakui dirinya adalah seorang sufi dan bukan cuma “aku-aku”, maka itu tercermin dari sikap dan watak serta cara berbicaranya. Kesantunan adalah hal yang utama. Selain berwelas-asih.
Namun, ada satu yang dilupakan. Setiap hal memiliki ukuran dan kapasitas serta tempat. Ada seseorang yang mengetahui di mana harus marah tanpa menghinakan seseorang. Bagi seorang sufi yang telah berlatih mengendalikan ego, hal tersebut akan otomatis hidup di dalam dirinya.
Nah, menjadi pertanyaan. Masihkah dia yang mengaku sufi itu adalah sufi sejati. Apakah sufi yang mewakili Tuhan atau mewakili setan. Wallahu’alam.