Bodoh Atau Polos?

Beberapa waktu yang lalu, salah seorang teman kampusku bertanya apa aku jadi mendaftar kerja di PT. Lafarge Semen Indonesia karena ada di buka lowongan di sana. Batas terakhir pendaftaran adalah tanggal 14 Agustus 2011.

Dari awal, aku berencana ingin mencoba mengajukan diri ke sana. Sekedar mengenal bagaimana teknik pengrekrutan pegawai di perusahaan-perusahaan, dan terlebih, aku ingin segera tegak berdiri karena ada seseorang yang harus segera aku genapkan agamanya. (cieee… xixixi…)

Tetapi kemudian, kepada temanku tersebut dengan berat hati aku katakan bahwa aku membatalkan melamar ke perusahaan tersebut. Transkrip nilaiku bermasalah. Seorang kawanku yang lain berkata bahwa di transkrip terbaru, nilai kuliah untuk Kerja Praktekku A padahal nilai sebenarnya B.

Mengetahui hal itu, timbul perasaan tidak enak di dalam hatiku. Walau dalam percakapan chatting itu aku angekin dia tentang nilaiku yang berubah, namun dalam hati kecilku aku tidak suka dengan hal yang sedang terjadi. Aku bertekad, bahwa nilai yang murnilah yang harus ada di transkripku walau pun nilai yang tertoreh lebih baik. Aku lebih menyukai kejujuran.

Aku pun sudah bertanya kepada dosen pembimbing skripsiku, dan beliau pun mengatakan lebih baik nilaiku diganti lagi menjadi nilai yang sebenarnya. Aku mengangguk sepakat.

Mengetahui hal tersebut, temanku yang bertanya apakah aku jadi melamar ke PT. Lafarge Semen Indonesia itu geleng-geleng kepala, dia katakan bahwa aku ini polos sekali.

Kadang aku merasa, “polos” yang hendak dimaksudkannya lebih mengacu kepada kategori TOLOL atau BODOH. Jika orang-orang menjadi aku, tentu mereka akan diam-diam saja dengan hal tersebut, namun hatiku tidak tenang. Apalagi menggembar-gemborkan bahwa nilaiku yang A itu seharusnya adalah B. Sungguh itu bukan tipikal diriku.

Dalam berbagai kesempatan, aku sering melihat orang yang malah bangga dengan hal-hal demikian. Mereka mengganggapnya sebagai sebuah keberuntungan. Malah ada seorang teman yang mendapatkan nilai mata kuliah padahal belum pernah mengambil mata kuliah tersebut. Untung saja dia ketahuan, jika tidak maka besar kemungkinan dia akan selalu bungkam.

Kembali kepada pokok persoalan awal. Aku sebenarnya agak sedih, bukan sedih karena nilaiku yang A akan kembali menjadi B, namun lebih kepada bahwa transkripku semuanya akan diambil. Padahal aku membutuhkannya untuk melamar kerja di Perusahaan Semen tersebut. Tetapi, aku tidak sampai hati jika harus memberikan nilai transkripku yang memiliki satu nilai yang tidak sesuai dengan aslinya.

Mungkin aku memang polos, atau lebih sering mungkin disebut bodoh. Aku tidak ingin mengambil resiko mungkin kelak dikemudian hari hal-hal tersebut malah menjadi pemicu masalah. Atau, aku tidak tenang menjalani hari-hari di mana nilai-nilai kepalsuan melekat di dalam diriku.

Dan jika itu semua terjadi, aku lebih memilih menjadi bodoh, tolol, atau polos. Aku percaya, jika semua orang tidak melihat, masih ada Tuhan yang selalu mengetahui.