Ada satu keinginan yang tidak berani aku lakukan, yaitu memeluk ayahku dari belakang terus aku katakan: “Ayah, aku sayang kamu”
Saat umurku sudah semakin tua dan dewasa, aku semakin menjauh dari orang-orang sekelilingku. Aku malu untuk memulai pembicaraan, atau memulai sesuatu yang bersifat istimewa. Pada ulang tahunku yang ke 25, aku dihadiahi sebuah kue besar berwarna coklat, manusia bumi menyebutnya kue tart atau blackforest. Saat itu, aku sangat malu, malu dalam bentuk yang positif yang orang-orang inggris mengatakannya sebagai blushing, sebuah episode yang jika dianimasikan adalah pipimu menjadi merah seperti buah strawberry.
Ayah adalah seorang yang sangat perhatian kepada keluarga ini. Walau terkadang, yang namanya manusia ada kalanya bisa jadi menyebalkan tetapi hal itu seperti setitik debu dibandingkan dengan semua hal yang telah dia lakukan untuk keluarga ini.
Walau samar, namun aku masih mengingat saat umurku beranjak remaja, entah mengapa aku memintanya kembali menggendongku di belakang punggungnya. Dulu sekali, saat aku masih begitu kecil aku suka digendongnya di belakang punggungnya. Kadang, aku suka digendong saat hendak tidur atau bangun tidur.
Aku juga masih mengingat. Ayah, saat aku hendak tidur waktu kecilku selalu menemani. Digenggamnya lengan kananku dengan lembut, sampai aku pulas tertidur seolah dia tidak akan pernah beranjak dari tempat tidurku. Sampai esok paginya aku tidak menemukan sosoknya, Ayah telah berpindah ke kamar Mamak.
Sekarang Ayah sudah tua, sudah sakit-sakitan. Di usia pensiunnya, Ayah masih harus bekerja untuk membiayai kedua kakakku bersekolah, yang tertua hendak menuntaskan spesialisnya dan kakakku yang ketiga sedang mengambil S2. Kemarin, kata Ayah, saat aku sedang memijit kepalanya, dia memintaku menunda satu tahunku untuk melanjutkan sekolah, dia kata agar aku fokus saja mengikuti les bahasa, nanti setelah tahun ini ketika kedua kakakku lulus, maka dia mulai bisa fokus terhadap biaya pendidikanku.
Sebenarnya, aku lebih ingin bekerja daripada melanjutkan studiku. Ada seseorang yang segera hendak aku nikahi. Seseorang di mana aku berjanji, jika punggungku telah tegak, aku akan segera melamarnya. Aku ingin segera menegakkan punggungku lantas mengamit lengan bidadari itu agar aku mampu menggenapkan seluruh agamaku.
Aku tidak ingin Ayah kecewa. Aku tidak pula ingin seseorang yang aku cintai itu juga kecewa. Ayah selalu ingin aku menjadi orang dengan ilmu yang besar dan luas. Ayah selalu kata, harta itu akan selalu datang kepada orang yang berilmu. Aku, jika sudah berilmu nanti, mudah saja mencari harta, mungkin aku bisa menulis buku tentang keilmuanku. Begitu selalu semangatnya kepadaku.
Namun, aku harus melalui segalanya dengan cepat. Ada seseorang yang harus segera aku genapkan dan dia menggenapiku. Umurku sudah tidak muda lagi untuk bermain-main. Kadang aku menyesal, mengapa aku terus bermain-main bahkan sampai sekarang ini, tidak pernah dewasa dalam merencanakan kehidupan.
Aku ingin sekali memeluk Ayah. Mengungkapkan seluruh perasaan hatiku kepadanya. Menangis di belakang punggungnya lalu berkata, aku sayang dia.