Ben, lihatlah lautan ini. Airnya begitu biru, begitu banyak dengan buih yang membasahi pantai. Negeri ini seolah tidak akan pernah kering.
Laut? Aku tidak mampu melihat laut yang engkau ceritakan itu sahabat. Aku tidak melihatnya.
Yang kulihat hanyalah safana. Safana yang maha luas. Safana yang sepi, hanya ada semilir angin yang menggoyang rumput-rumput, dan gemerisik daun yang bersentuhan. Aneh tetapi, di safana ini aku tidak melihat hidup.
Apa yang engkau maksud Ben, aku tidak mengerti. Sepenuh aku tidak memahami ucapanmu itu. Kau meracau! Lihatlah laut biru ini. Tidakkah engkau merasakan sensasi pasir yang menggelitik kakimu, kesatnya garam yang menyetubuhi kulitmu. Ah, lihat itu! Serdadu ikan berlomba menjamah langit biru, tetapi mereka tak akan mampu. Laut adalah hidup mereka, sedang langit hanyalah mimpi.
Apakah aku buta? Bagaimana laut eksis di safana yang begitu nyata dan luas. Tidakkah engkau merasa rerumputan yang menggelayut di kakimu? Ah, hanya sayang. Safana ini begitu sepi, tak ada kehidupan di sini. Bahkan rerumputan yang menyelimuti seluruhnya hanyalah rerumputan kering yang mati, menunggu terbakar hingga semuanya menghitam menjadi abu, lalu membusuk dan menjadi humus. Menjadi ibu baru untuk rumput lain yang akan segera hidup.
Baca Selengkapnya