Wanita dan Tangisan

Wanita itu datang kepadaku dengan muka memar biru. Wajahnya lebam-lebam, dapat kulihat dia begitu tersiksa. Air matanya meleleh, seolah melolong teriak minta tolong.

Tangannya menutup wajah, suaranya goyah, air mata jatuh disela-sela jemari halusnya. Kasihan.

Terisak, dia menangis sedu-sedan. Jika manusia melihatnya, tak ada seorangpun yang tak akan iba. Wanita, mengapa selalu tersakiti?

“Lho, kamu kenapa Nis?” Tanyaku.

Makin kutanya, lengkingan suaranya semakin mengkerat hati. Pilu, sayatan bahasa suara kalbunya membuat semua ingin mewarta; wanita mengapa selalu terkorbankan.

“Ada apa?” Aku mengulang tanya untuk kesekian kali, mencoba robohkan bungkamnya yang terlalu lama diperanakkan.

Nisa masih tetap diam, entah apa yang telah terpelakukan oleh seseorang kepadanya, namun yang jelas lebam-lebam wajahnya mampu menceritakan sedikit hal. Ada sebuah berita besar yang tidak mampu diceritakan dari lidahnya, terlalu berat untuk diucap, atau dilafazkan. Aku sendiri bingung, mengapa wanita lebih memilih menangis daripada berteriak. Mereka menangis dalam diam, terkadang tengkurap beralaskan bantal. Menangis sejadi-jadinya, cuma menyisakan riakan isak-isak-isak dan isak. Hati mereka hancur, terluka, namun mereka masih saja bungkam. Sumpah, aku demikian heran.

Aku sendiri ikut arus. Satu posisi, aku ingin memarahi Nisa karena membuatku penasaran dan pada posisi lain aku pun iba. Bagaimana tidak perih hatiku melihat seorang teman dengan wajah biru datang menangis kepadaku, namun aku pun kesal, tak ada ucapan dari lidahnya kecuali cuma tangisan. Jika ingin meratap, tembokpun lebih berguna atau bantal daripada aku. Tembok tak akan pernah peduli dan bertanya-tanya; mengapa engkau menangis wanita, apa yang telah dunia perbuat, masih sanggupkah engkau menegakkan muka.

Aku genggam pundaknya, lantas kunaikkan punggungnya tegak ke atas agar setara denganku. Tanganku beralih ke wajahnya, menyibak rambut basah yang lengket di sela-sela hidung dan pipinya. Aku tatap matanya yang selalu ingin lari, aku butuh kejelasan. Aku tanya untuk kesekian kali, “Nisa, kamu kenapa?”

Bibir bawahnya digigit, sudut kanan bibirnya mampu kulihat masih menyiasakan luka. Beberapa bercak darah telah mengering. Pipinya sedikit gembung disertai biru lebam. Ingin kupeluk dia, namun rasanya lebih berarti jika aku mendengarkan kabar yang akan keluar dari pita-pita suaranya. Sebuah kabar, mengapa segala hal mampu terjadi.

“Aku dipukul Rijal”

Sontak aku kaget. Sebuah nama yang kutahu selalu menjadi buah bibir seorang Nisa. Nama yang pantang jika tak disebut barang sehari. Nama yang selalu datang ketika dia memintaku untuk mendengarkan. Sebuah nama yang selalu membuat Nisa terlihat begitu bodoh.

“Male, tadi Rijal belikan kado lho, padahal kan ini bukan hari yang spesial. Tapi dia bilang: untuk Nisa, setiap hari adalah spesial.”

“Male, tahu ga? Tahu motorku bocor ban, eh si Rijal jemput aku. So sweet kan?”

“Male, besok Rijal ultah, aku kasi kado apa ya?”

“Male, Rijal sebenarnya sayang ga seh sama aku? Kok aku seperti diduakan ya?”

“Male, tadi Rijal maki aku di cafe, di depan orang-orang. Aku malu banget Male, aku malu!”

“Si Rijal ngaku salah Male, aku juga dah maafin dia. Gentlement banget ya si Rijal, aku makin sayang deh ama dia.”

“Male…”

Kadang, aku hampir bosan dengan semua ocehan tentang Rijal dari Nisa. Namun sebagai seorang yang lebih dianggap dewasa oleh Nisa, aku harus rela menelan semua ocehan itu. Bagiku, Rijal bukan apa-apa hingga harus diperbincangkan sepanjang waktu. Walau harus kuakui, Rijal memang pandai memikat hati.

Mendengarkan Nisa dipukul Rijal, teman mana yang rela. Hampir lima menit aku terdiam. Aku kehabisan kata.

Aku peluk Nisa erat. Ku pegang pundak dan kepalanya, kubelai. Akupun menangis untuk Nisa yang malang.

“Sudah, tinggalkan saja lelaki itu!” Tegasku.

Aku benar-benar muak dengan lelaki yang tak mampu menghargai wanita, lelaki yang tega memukul wanita. Belum jadi suaminya saja sudah main pukul, bagaimana jika menjadi suami, mungkin nyawa menjadi hitungan hari.

“Kemarin Rijal telah memakimu di depan orang-orang, sekarang dia berani pukul kamu Nis. Udah deh, cowok macam gitu dibuang aja. Toh banyak cowo yang lebih baik.” Aku benar-benar geram.

“Rijal ga salah Male, aku yang salah. Tadi Rijal lihat aku dibonceng Om Satria, dia ga tahu kalo Om Satria pamanku. Rijal cuma salah paham kok Male.”

Aku semakin geram, malah Nisa membela lelaki tak mutu itu.

“Lah, terus kalo dia salah paham kenapa dia main pukul?”

Nisa diam, lantas melanjutkan dengan tangis. Sungguh, aku tak mengerti pola pikirnya. Andai aku Nisa, mungkin telah kutinggalkan Rijal sedari dulu. Toh, melajang seumur hidup tak apa-apa, dibandingkan menjadi sparring partner lelaki yang tak tahu bagaimana seharusnya mempertunjukkan sikap jantan.

“Belum menjadi suamimu saja sudah main pukul, apalagi nanti sudah jadi suamimu Nis. Kamu harus tinggalkan lelaki seperti itu, tidak baik!” Aku masih mendesak Nisa.

“Ga bisa Male, aku ga bisa ninggalin dia. Aku udah terlanjur cinta.”

Cinta? Apakah harus separah itu yang namanya cinta. Apakah cinta harus memberikan biru lebam dikulit halus seorang wanita, dan menyiasakan bercak darah pada sudut-sudut bibir dengan sangat kentara? Aku bertanya kepada semua lelaki yang mengaku memiliki cinta.

Dialog kami berakhir di situ. Nisa masih menangis hingga tertidur pulas. Dalam perenungan aku selalu bertanya-tanya, apakah yang Nisa lakukan adalah suatu kebenaran, atau kebenarankulah yang benar. Sungguh, aku tak mengerti.

Pagi berganti, lebam itu telah hilang. Wajah Nisa kini kembali berseri, putih, dengan sedikit rona merah. Nisa, temanku sejak 10 tahun lalu.

“Male, besok ulang tahun ke-2 jadian aku dengan Rijal. Aku kasi kado apa yang Male? Aku ingin memberikan dia sesuatu yang spesial dan tak akan dia lupa.”

Aku terdiam. Dunia seperti hamparan sepi, kadang aku tak mengerti bagaimana dunia dan manusia saling memetakan diri. Nisa yang begitu gembira, padahal lebih dari sepuluh kali dia datang kehadapanku, menangis, dengan muka lebam biru. Setiap kutawarkan putus pisah dengan Rijal, wanita itu acuh.

Aku telah seperti tembok. Suaraku tidaklah memiliki harga. Seperti tembok ratapan para Yahudi, manusia datang kepadaku cuma untuk meratap, bukan untuk mendengarkan saran.

Nisa tidak sendiri, ada banyak wanita yang lebih buruk daripada itu.

Kadang aku terus bertanya; wanita, mengapa terus bungkam dan terbutakan.