Tolong Hargai Call Center

Beberapa waktu yang lalu saya baru tahu jika ternyata call center itu tidak memiliki hubungan langsung dengan Operator Telekomunikasi. Call center adalah out sourcing yang direkrut oleh pihak ketiga (third party). Orang-orang yang bekerja sebagai call center disebut dengan Call Representative.

Mengetahui hal itu, saya menjadi menyesal pada beberapa waktu yang lalu saya pernah begitu marah dengan call center yang bekerja dengan lamban serta tidak mampu menyelesaikan masalah saya sepenuhnya. Saya masih menganggap mereka merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari provider telekomunikasi yang saya gunakan.

Kawan baik saya bekerja sebagai call center. Dia mengeluhkan betapa tingkat stress di call center itu sungguh tinggi. Hampir setiap hari dibuka lowongan untuk menjadi call center karena ada saja yang keluar setiap harinya, begitu juga yang masuk setiap harinya. Betapa ketatnya peraturan di call center dan selalu ada punishment dibandingkan reward yang berlaku.

Setiap call center harus berjualan (biasanya kalau kita menelepon call center pasti setelah diakhir kita akan ditawari apakah itu NSP atau pengaktifkan GPRS atau internet), biasanya ada minimal yang dipatok atau mungkin istillahnya break event point setiap bulannya untuk setiap call representative. Kawan saya bilang, dia dipatok harus mampu menjual sekitar 300rb per bulan. Jika hal tersebut tidak mencapai target, maka akan ada bimbingan lanjutan (sejenis punishment) dari pihak perusahaan.

Call center tidak boleh lebih dari 3 menit dalam menangani kasus klien. Lebih dari 3 menit dalam mengatasi kasus klien maka dianggap orang tersebut tidak becus sebagai call representative. Padahal, ada banyak sekali masalah yang tidak bisa diselesaikan dalam waktu 3 menit, terlebih mereka yang awam dan baru menggunakan handphone.

Call center harus mengikuti prosedur penjawaban secara terurut. Dalam artian terhadap masalah yang berbeda selalu ada prosedur pelaksaan tata cara bagaimana mengatasi masalah. Dan semuanya harus diinstruksikan secara berurutan, tidak boleh salah atau terbalik. Padahal, kadang lebih mudah mengkomunikasikan suatu penyelesaian dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh klien, bukan cuma instruksi terurut yang kadang bisa saja begitu teknis dan tidak user frendly (what the …?).

Dalam satu hari, seorang call representative bisa menerima keluhan dari 80 hingga ratusan. Itulah mengapa call center cenderung mudah stress, karena banyak dari yang bertanya adalah mereka-mereka yang sangat awam, iseng, atau pun marah-marah. Padahal, selaku call center, mereka cuma menangani masalah sedangkan masalah yang sebenarnya ada pada pihak provider. Call center tidak bertanggung jawab terhadap masalah teknis yang terjadi di lapangan.

Mendengar penuturan temanku itu saya menjadi miris. Saya pun menghubungi salah seorang teman menggunakan blackberry messenger. Teman saya itu merupakan salah seorang dari 12 sales supervisor salah satu operator telekomunikasi untuk wilayah Sumbagut.

Teman saya yang supervisor itu ternyata sebelum bekerja tetap pada provider telekomunikasi itu awalnya juga adalah seorang call representative selama 2 tahun. Dan sekarang dia menjadi supervisor setelah bekerja 4 tahun. Totalnya 6 tahun (2 tahun kontrak, 4 tahun tetap). Dia tidak menganggap bahwa kerjaan kontrak itu bagian dari pencapaiannya karena perbedaan yang signifikan dalam masalah gaji 😉

Menurut saya pencapaiannya itu tergolong pesat. Dalam 4 tahun sudah mampu menduduki posisi supervisor, itu bukan hal yang mudah. Terkadang orang membutuhkan bertahun-tahun untuk mencapai posisi tersebut, kecuali jika memang orang tersebut sangat-sangat berprestasi sehingga selalu mendapatkan promosi.

Kata teman saya yang supervisor itu, selama di call center ada juga pemantauan bagaimana dengan keadaan call center tersebut apakah memiliki progress atau cuma call center yang ogah-ogahan dan selalu mengeluh stress akibat tekanan klien. Saya berpikir 2 tahun bekerja sebagai call center bukanlah hal yang mudah, terlebih bila mengingat seorang teman yang mengeluh itu bahwa selalu berusaha ingin resign.

Berbicara stress, saya pernah menceritakan kepadanya pengalaman seorang Aik. Wanita jelek, gendut, menyebalkan yang bekerja pada salah satu perusahaan akuntan publik yang sangat-sangat berada di bawah tekanan. Namun, berada di bawah tekanan yang membuatnya ingin resign-resign terus telah mengubahnya menjadi seorang work alkoholik (artian bebasnya orang gila yang bekerja). Sekarang masalah dia stress kalau tidak ada pekerjaan dan harus mengerjakan apa.

Kembali ke topik pembahasan. Bagi yang membaca tulisan ini diharapkan agar lebih berempati kepada call center dan tidak membuat mereka semakin stress. Saya sering heran, terkadang manusia begitu bahagia jika berhasil melukai, mengejek, atau menindas orang lain. Jika memang tidak diperlukan sebaiknya tidak perlu menghubungi call center, dan jika menghubungi mereka yakinlah bahwa Anda bukan satu-satunya orang yang menghubungi mereka.

Tahukah Anda bagaimana rasanya dihubungi terus-menerus untuk berbagai pertanyaan yang itu-itu saja atau malah terkadang yang menghubungi cuma orang-orang iseng.

Jika Anda manusia dan masih memiliki hati, tolong pikirkan kembali setiap tindakan Anda dan jangan cuma ingin menang sendiri. Pahamilah.