Tidakkah Aku Pantas?

Menjerit Sekuat Tenaga
Sumber gambar: istockphotos

Hal yang paling mengerikan dari seorang wanita pintar adalah egoisme yang begitu tinggi. Perasaan ingin selalu dituruti. Keinginan untuk terus di atas. Selalu ingin dipahami tanpa ingin memahami. Maka terkutuklah semua pria bodoh, yang menjadi tunduk oleh keegoisan-keegoisan tersebut. Namun, memang, kecerdasan wanita adalah hal yang paling eksotik di dunia. Tak pun mampu dikalahkan oleh bentuk juga rupa.

Aku sangat mencintainya. Teramat dalam. Tak pernah mampu terlukiskan. Bahkan oleh perputaran waktu yang pernah lewat. Cinta yang lebih dalam daripada saat hadirnya sang puteri, taman surga, maupun bidadari kedua. Bahkan ini cinta yang mampu melebihi rasa yang dulu pertama kali hinggap saat aku SMA.

Aku menangis saat menuliskan ini. Mungkin kami sama-sama terlalu muda untuk urusan yang menjadi wilayah manusia dewasa. Atau kami terlalu egois, untuk mengalah bersama. Memperturutkan keinginan, ego, dan hawa napsu. Seperti anak kecil yang terus menjerit memperebutkan apa yang menurut mereka menjadi haknya. Dan para dewasa cuma mampu tertawa dan terbahak. Seolah apa yang terjadi adalah hal terlucu di dunia.

Aku paling benci saat aku tidak dihargai. Seperti sampah yang terserak tanpa dikehendaki. Seolah boneka yang bisa dipeluk lantas dibuang sesuka hati. Aku benci. Sepenuh benci.

Menganggap bahwa dia adalah hal yang paling berharga dalam hidupku, maka aku terus berusaha mempertahankannya. Namun, selalu saja ada kerikil yang melewati tapak kami berdua. Dan selalu saja, seseorang selalu meminta untuk berhenti berjalan. Walau, sampai hari kemarin, aku terus berkata, “menyerah bukanlah kosakata yang hadir dalam hidup kita.” — dan dia terus percaya.

Tetapi batas asa ternyata memang ada. “Mengapa terus meminta berhenti? Tidakkah terlalu layak perjalanan ini diteruskan? Atau, apakah aku masih layak berjalan bersamamu?” — Aku selalu menyematkan pertanyaan yang sama saat dia selalu mencoba berkata henti pada sebuah perjalanan yang akan segera menemui oasenya.

Sampai pada ujung kisah, aku menjadi tahu, sepenuh aku mengerti: aku tidak terlalu layak. Aku bukanlah hal yang pantas. Pria bodoh tak seharusnya mempersunting seseorang dengan kepintaran bak dewi Athena, seseorang dengan egoisme yang begitu tinggi. Aku menangis saat mengetahui fakta itu. Sederas air mata yang mampu tumpah. Dan segala perbendaharaan kata menjadi habis dan tuntas. Diam dalam kepiluan adalah hal yang paling universal yang aku tahu, tak ada kosakata untuk hal yang aku rasakan ini. Bahkan aksara adalah beku yang kaku.

Hidup serupa huruf konsonan. Tak ada vokal yang terselip di dalamnya. Detak jantung tidak lagi mampu diukur dalam detik. Seperti aku yang mengendarai cahaya, hidup menjadi detak beku yang tak pernah bergerak. Segala makhluk adalah kaku. Bak patung dalam galery dan museum.

Tidakkah aku menjadi pria yang begitu baik? Mencintaimu dengan segala hormat. Memujamu dengan sepenuh khitmad. Apakah tidak cukup bagimu? Bukankah semua manusia adalah sebuah variabel, saat mereka memiliki kelebihan, terselip pula sederet kelemahan. Maka terimalah aku apa adanya, seperti aku memelukmu tanpa mendefinisikan. Tanpa perlu aku bertanya, dan tidak pula ada keraguan di dalamnya.

Mungkin aku memang seorang pria bodoh. Yang tidak mampu berkaca di mana posisinya. Yang dengan culas meminta untuk menjadi nampan, untuk setiap keegoisan.