Dulu, aku tidak takut mati. Entah pun jika aku mati, yang aku takutkan adalah rasa-rasa dari kematian tiba. Seperti yang pernah aku dengar cerita dari orang-orang yang telah jauh tua, tentang betapa sakitnya rasa kematian itu. Layak tebasan seribu pedang. Perih tak berperi. Teramat. Sangat.
Yang aku takutkan dulu adalah proses-proses kematianku tiba. Aku takut darah. Aku takut melihat darah atau darah yang mengalir keluar dari tubuhku yang entah terkoyak atau tersayat. Aku takut. Bahkan, melihat kambing kurban yang mengerang kesakitan bertemu dengan maut pun aku takut. Dulu pun aku tidak begini, aku yang semasa kanak malah begitu suka melihat kambing-kambing yang digiring menuju pembantaiannya. Namun, sekarang tidak lagi. Perih rasa kesakitan yang menggiring mereka seolah juga aku rasakan.
Kadang aku membayang. Bagaimana proses aku menuju kematian itu. Apakah tenggelam. Apakah terbang lantas terguling setelah dihantam. Terbakar. Remuk setelah digilas oleh sesuatu. Atau aku akan jatuh dari ketinggian, atau mati terhimpit reruntuhan. Segala hal yang aku bayangkan berujung kepada rasa sakit yang sangat. Kematian tercepat dan tidak menyisakan sakit mungkin cuma jika kepalaku pisah dari badan. Ketika aku terpancung seperti Djenar atau Hallaj.