Kehilangan Kata

Melupakan Kata Melupakan Nama

Awalnya aku mendiagnosis bahwa aku mengalami dimensia, sebuah gejala penurunan fungsi otak. Aku mulai melupakan tentang begitu banyak kosakata yang dulu tersimpan, terkadang ketika berbicara aku lupa hendak mengatakan sebuah kata. Aku pun mulai melupakan banyak nama. Seperti harus mengeja ulang nama-nama yang pernah hadir dalam hidupku, nama-nama yang bersinggungan dengan sebagian episode yang telah kujalani.

Pola pikir juga sama. Aku mulai kesulitan untuk mempetakan begitu banyak masalah dalam rentang yang runut. Pikiranku menjadi semakin abstrak. Bahkan hal-hal yang simpel pun aku kesulitan dan tertatih dalam mengejanya. Mungkin ini karma, tentang aku yang cenderung mudah berkata tidak bisa ketika beberapa orang bertanya, karena menjelaskan sesuatu adalah salah satu kesulitanku dari sejak dahulu kala. Keenggananku seolah menjalar, menghukum hidupku, dan menjadikan aku seperti sekarang ini.

Maka ketika sebuah persoalan diajukan, lebih mudah bagiku mencatat segalanya baru kemudian berpikir dari apa yang tertulis. Namun, terkadang hal demikian tidak juga membantu. Satu ketidaksesuaian seringkali membuatku merontokkan seluruh pondasi yang telah aku pikirkan.

Baca Selengkapnya

Lupa Menjadi Manusia

Maaf. Lama tidak menulis di blog yang mulai lembab, berdebu, dan rapuh ini. Selama aku lupa bagaimana menjadi manusia.

Aku seperti lupa menjadi manusia. Hidup ini rasanya berjalan dengan tidak aku sadari. Selalu menjadi mereka yang alpa. Parahnya, terus saja mengulang hal yang aku pahami untuk seharusnya tidak perlu diulang lagi.

Aku pun seperti mulai gagap dalam memberi sejumlah kata. Tidak ada arus kata yang sama seperti dulu. Sesuatu yang berasal dari hati, dan langsung masuk ke dalam hati. Lupa menjadi manusia membuat aku kehilangan banyak hati. Menjadi kejam dengan segala manusia, menjadi kejam dengan semua keadaan.

Terkadang aku menangis. Manusia yang dulu hadir kini hilang. Diganti dengan sesuatu yang terlalu jauh buruk. Terganti dengan sesuatu yang begitu hampa, tak bermakna, kekosongan, dan penyesalan. Anehnya, aku terus saja mengulang.

Aku merindukan kembali menjadi manusia. Sesuatu yang utuh. Bermakna. Menjaga dari keburukan dan terus menutupi seluruh cela. Sesuatu yang Dia mencintaimu, dan engkau mencintaiNya. Aku rindu saat-saat itu.

Aku benci begini! Tapi terus menetap tanpa mau membuat jejak. Berdiri terpatung, tanpa bergerak menghindari seluruh penyesalan yang terjadi. Aku benci!

Apakah engkau sama, teman? Teramat lupa bagaimana menjadi manusia. Terus saja ikuti seluruh jiwamu yang terkotori. Tidak pernah berpikir untuk mensucikannya. Terus saja mengotori, tanpa pernah menyesali tentang apa semua yang terjadi. Tidakkah engkau benci?

Aku ingin bebas. Tidak terpenjara dengan semua sesal dan kebencian yang mengukung. Mampu bernapas sedalam yang aku bisa. Ingin kembali melihat matahari dengan cahaya yang sama. Apakah engkau juga merasakan seperti yang aku rasakan, teman?

Beratus latin telah aku baca, namun yang ada cuma rasa hampa. Ingin sekali aku memelukmu, memeluk sesuatu yang tidakpun aku tahu apa itu. Hanya ingin memeluk sesuatu yang memberi rasa nyaman, mampu melepaskan seluruh duka dan sesal. Seperti dulu, saat tidur dalam lapisan cahaya.