Minggu lalu, saya ikut pengajian mingguan. Biasanya, setiap pengajian, kami dibagikan rapor mingguan tentang peningkatan ibadah harian. Rapor saya sangat buruk. Amalan harian saya jauh sekali dari target normal yang seharusnya. Tilawah saya jarang, shalat jamaah pun kurang.
Saya paham. Guru ngaji saya mengkel melihat hal yang demikian. Kemudian, karena ternyata minggu itu teman-teman saya juga melakukan hal yang serupa dengan saya, guru ngaji saya bertanya, “sudah berapa lama ikut pengajian?”
Tidak ada yang berani menjawab. Semua pandangan tertunduk ke bawah. Mungkin cuma saya seorang yang tidak paham malu di kelompok pengajian saya, malah saya memesan burger untuk mengganjal perut saya yang sangat-sangat lapar ketika itu. Kami saat itu memang mengadakan pengajian di sebuah kafe. Malah, saat kami mengaji, suasana kafe lumayan riuh. Sepertinya sedang ada konser mingguan di sana.
Saya merasa beruntung. Guru ngaji saya itu orang yang open minded. Terkadang, di kelompok pengajian yang lain, hal yang sama mungkin jarang terjadi. Saya cenderung polos, tidak paham situasi. Jadinya, kadang saya bertanya hal-hal yang mungkin menurut orang lain tidak perlu ditanyakan, namun tetap saya tanyakan. Setahu saya, pada beberapa kelompok yang lain, orang-orang seperti saya mungkin sudah dihindari. Begitu yang saya dengar dari selentingan berita yang beredar.
Oh ya, kembali ke persoalan semula. Karena amalan harian kami sangat kacau balau, mengingat telah lamanya kami ikut mengaji namun seperti tidak berbekas, bahkan belum 1 juz pun ayat-ayat suci Quran yang kami hapalkan, guru mengaji kami meminta kami melakukan sesuatu: beliau meminta kami mencari buku dengan judul “Memoar Hasan Al Banna“.