Saat motorku hilang. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, mungkin sekitar 2 atau 3 kali lebih cepat. Saat itu, aku merasa sangat lemas. Lututku gemetaran dan kakiku seperti tidak mampu berpijak di bumi ini.
Aku kalut. Aku bingung. Motorku itu hadiah dari kakakku dan sekarang aku telah menghilangkannya. Harus ditaruh di mana mukaku ini! Terlebih, kredit motor itu belum lagi lunas. Oh Tuhan…
Hidup rasanya mendadak berputar dengan tidak menyenangkan. Aku tidak bisa berpikir dengan jernih. Teman yang tadi aku ajak tertawa, si Nurul tiba-tiba menghampiri namun dan saat diajak bercanda, aku tidak bisa. Aku cuma katakan dengan muka pucat, “motorku hilang.”
Aku bingung harus bagaimana. Akhirnya, dengan berat hati aku telepon Ayahku, pertama yang mengangkat adalah Mamak. Saat itu aku bertanya, apakah Ayah ada? Ketika telepon sudah ada di tangan Ayahku, aku katakan dengan suara yang agak bergetar (karena lemas, takut, dan kebingungan) bahwa motorku telah hilang.
Ayahku bertanya di mana posisiku, aku jawab “di Gedung Sosial.”