Antri Woy!

Beberapa hari yang lalu aku sungguh kesal. Sangat kesal! Darah rasanya naik ke ubun-ubun, tetapi aku tidak pernah bisa marah. Ketika aku mau marah, aku biasanya lebih sering memendam rasa amarah itu sendiri. Persoalannya sepele dan aku rasa hampir selalu terjadi di negeri yang “ngakunya” teramat kaya. Sebuah kejadian sistemik yang sulit sekali dibangun di dalam jiwa-jiwa penduduk negeri ini: “ANTRI“.

Setiap orang ingin cepat selesai. Ingin menjadi nomor satu tanpa mau menunggu. Dan setiap orang, dengan keegoisannya, selalu datang telat namun selalu ingin selesai cepat.

Kata Antri menjadi momok. Kadang aku suka sebal, dengan orang-orang yang tidak ingin mengantri. Bagiku, rasa kemanusiaan mereka sedikit terkikis, bahkan aku memasukkan mereka ke dalam kategori bebal yang bertambah-tambah. Dan parahnya lagi adalah mereka yang menitipkan antrian kepada mereka yang sudah lebih dahulu datang dan berada di depan.

Sungguh keterlaluan sekali aksi manusia yang tidak ingin ikut mengantri namun meminta jatah roti. Mereka yang tidak antri santai saja menunggu di pojok-pojok dingin tempat mereka berteduh, duduk leyeh berleha-leha, sedangkan orang yang antri harus siap berpanas ria dan kakinya gemetaran karena terlalu lama berdiri.

Baca Selengkapnya

Namaku Kathmandu

sufism
sufiroad.blogspot.com
Rosario itu masih mengamit di tanganku. Dalam genggamanku dia berputar, sehaluan dengan bait-bait nama Tuhan yang bertasbih dari bibirku. Bibir kering yang terlalu lama tidak disirami air. Liurku juga telah kering, bahkan sering sekali kerongkonganku terasa sakit. Panas membumbung tinggi, matahari seperti sejengkal di atas ubun-ubun.

Rosarioku adalah tasbih yang unik, terukir dari biji-biji korma yang telah dikeringkan. Korma adalah makanan yang disukai nabiku, aku menjadikannya sebagai rosario sebagai bentuk cinta walau aku tetap memakan gandum yang telah menjadi roti. Cuma sesekali aku memakan korma, aku tidak begitu suka dengan sesuatu yang manis kecuali susu dengan tambahan sedikit gula.

Tidak cuma biji korma. Aku juga menyimpan segenggam pasir dari tanah yang pernah disinggahi oleh nabiku. Pasir itu kumasukkan ke dalam sebuah kantung yang kukalungkan dileherku. Sesekali jika cintaku telah begitu melangit maka aku berdiam sejenak, kutundukkan kepalaku ke tanah lantas kantung pasir itu kuciumi. Aku seperti sedang menciumi kaki nabiku.

Aku cinta nabiku.

Guru sering bercerita, dulu. Dia pernah kata bahwa nabiku adalah manusia suci, yang dosanya terampunkan dahulu, sekarang, dan masa akan datang. Nabiku adalah pecinta Tuhan sejati. Walau Tuhan telah mengampunkan segala dosa-dosanya, namun nabiku tidak langsung naik kepala. Dia tetap tekun bercinta dengan Tuhannya. Saban malam dikorbankan tidurnya demi Tuhannya. Pernah ditanya mengapa hal demikian dia lakukan, dan engkau tahu jawabnya? “Tidak bolehlah aku menjadi hamba yang bersyukur?

Baca Selengkapnya