Terhitung, mungkin sudah 10 hari saya sakit demam berdarah. Lupa, kapan mulai sakit ini berjangkit, yang jelas sehari setelah saya memotong rambut dan diskusi soal pluralisme bersama si Baiquni (baiquni yang lain), Irfandi, Abdul Ghaffar, dan Mirza Abdi. Padahal, besoknya direncanakan akan bertemu dengan salah seorang bule untuk mendengarkan sejarah kristenisasi (bukan sebagai ajang debat namun sebagai pengetahuan tambahan tentang perkembangan kristen), tetapi karena sakit saya tidak bisa menghadiri diskusi tertutup tersebut.
Saya baru ke dokter pada hari kedua. Saat itu kepala saya sudah terlalu pusing dan panas tinggi. Mendengar keluhan saya tentang badan yang nyeri, sakit kepala, dan demam maka dokter pun berkesimpulan besar kemungkinan saya teridap penyakit demam berdarah. Namun kata dokter saya tidak perlu khawatir, yang penting banyak minum saja. Oh ya, kata dokter juga, juga trombosit saya di bawah 100, saya disuruh segera opname di rumah sakit.
Jadi, selama sakit saya cuma tertidur di rumah. Mamak sempat bertanya, mengapa tidak ada teman yang menjenguk? Saya sebenarnya tidak ambil pusing mengapa tidak ada yang menjengguk, sudah cukup repot dengan sakit mengapa pula harus direpotkan mengapa orang lain tidak peduli terhadap sakit saya? Ya, saat itu saya tidak ambil pusing.