Aku bertanya kepada langit, siapa dia?
Hari itu, seperti yang sudah-sudah, langit masih sama. Langit memendam semua cerita. Menyimpan. Tak bersuara.
Kadang aku merasa tidak butuh langit, selain hanya sebagai tempat aku berteduh. Aku tidak berteduh dari hujan kawan, tapi aku berteduh segenap ataupun seganjil radiasi yang dihasilkan dari luar bumi. Kita, teramat kecil dan rapuh.
Hari itu, seperti yang sudah-sudah, aku untuk kesekian kali bertanya: siapa dia?
Tidak jarang aku bahkan berteriak. Membahana. Atau kadang aku memelas bercucur air mata, demi satu tanya yang belum juga usai dan aku tidak menemukan jawabannya: SIAPA DIA?
Basi! Sia-sia! Entah langit, entah bumi, yang walau memiliki semua cerita dari awal mula ada namun tidak juga memberiku jawab. Aku kadang teramat bingung: bumi kenapa bisu, dan langit mengapa hadir tanpa suara. Alangkah elok jika mereka juga mampu berbicara, saat ada anak manusia gusar ingin bertanya maka bolehlah barang satu dari mereka yang mencoba rumuskan sebuah jawabannya.
Namun, Tuhan punya cara sendiri dalam rasa mencipta. Bahkan, setelah manusia diberikan dua kuping dan satu mulut, aku lebih banyak melihat manusia yang suka membual daripada mendengar. Bualan yang kadang terlalu tinggi. Bualan yang terlalu suci. Atau bualan luncah yang kadang membuat birahi.
Ada satu yang aku pelajari. Manusia cuma mendengar apa-apa yang ingin mereka dengarkan: kesedihan, pilu, haru, dan yang paling mereka suka adalah keburukan. Lihatlah olehmu, manusia yang terus-menerus berguncing. Tidak paham waktu, tidak paham tempat, tidak pula paham asbab. Lidah-lidah yang terus bergetar, meliuk seperti ular. Dari mulut mereka hadir serapah, juga ucap kotor tentang kotornya manusia. Syahdan, itu pula juga hadir dari mulut yang kotor.
Tidak cuma ucap. Kadang kata-kata hadir dalam bentuk aksara. Berucap tidak cuma di kuping mereka, namun langsung meringkuk di hati. Apakah engkau lihat, nama-nama manusia yang terus hidup dalam sejuta bualan. Tidak habis ludah mereka menjadi kering, maka pena dan tinta mereka basahkan. Semuanya terwujud, demi bual yang tidak kenal lelah.
Mari kita lupakan tentang manusia. Aku tidak peduli dengan manusia. Aku cuma peduli dengan semua pertanyaan-pertanyaanku yang hingga detik ini belum lagi usai bertemu jawabnya: SIAPA DIA?
Dia yang teramat asing. Dia yang timbul dari semua tanya. Dia yang membuat manusia menjadi rindu. Dia yang menjadi asbab manusia mencibir, mencakar, lantas menerkam. Dia yang karenanya manusia berteriak lantang. Dia yang memaksa manusia untuk tunduk dalam jutaan bah air mata. Dia yang aku menjadi untuk menjelaskan. Dia yang tiada setara. Dia!
SIAPA DIA?!
Bahkan bumi hidup bermula dari waktu. Waktu mengalir menciptakan sejarah. Namun, Dia, hadir tanpa sejarah. Cuma “nama” yang manusia ukir dalam batu-batu tua, juga lempeng-lempeng besi bahkan tanah yang terbakar juga kulit-kulit yang dikeringkan. Tidak jarang melalui tulang-tulang. Manusia mengukir sejarah tentang Dia, tanpa mengerti daripada datangnya. Manusia cuma mendengarkan, seseorang pernah bercerita, tentang Dia yang teramat awal, bahkan saat sejarah belum lagi digelar.
Aku teramat berharap, pertemuan dengan Dia bukanlah suatu mimpi yang diukir di atas kertas oleh sejarah pena-pena yang liar menari dan menghabiskan tinta. Aku teramat berharap, Dia, yang orang-orang ceritakan, bahasakan, bicarakan, bukanlah hanya dongeng semata. Hatta, dongeng pun muncul dari manusia yang teramat jauh mimpinya. Hatta, dongeng pun hadir dari delik-delik sejarah. Bagaimana Dia bisa muncul, bahkan Dia telah ada saat sejarah belum lagi ada.
Apakah waktu mampu menjawab? Bahkan waktu adalah ukuran untuk mengukir sejarah. Waktu pun cuma berbicara bata-bata, sepenggal, yang kadang membuat sesat. Seperti mereka yang buta bertanya tentang arah kepada mereka juga yang buta. Buta tidak akan dapat memberi petunjuk kepada mereka yang buta. Harus ada Dia yang tidak pernah buta, Dia yang hadir tanpa kontaminasi sejarah.
Bagaimana dengan labirin? Tentang lorong-lorong cabang penuh liku. Ada banyak ruang untuk beralih. Namun, semuanya penuh kesesatan. Cuma ada satu jalan dengan pintu terakhir. Demikianlah manusia. Mereka, awal pijak dan hidup dengan waktu, ibarat masuk ke dalam labirin itu. Buta, cuma mampu meraba. Manusia hidup dengan klaim, akulah yang benar, padahal mereka juga buta. Sesat!
Beberapa membawa obor. Berharap jalan menjadi terang. Namun, bukan jalan yang salah, tetapi matalah yang buta.
Maki-maki manusia tentang gelapnya hidup, jalan, dan waktu. Mereka cuma terlalu lama hidup dalam lahat-lahat tertutup. Mereka buta, namun angkuh. Mereka tidak butuh cahaya. Yang mereka butuh adalah seorang yang telah mengerti, untuk melalui jalan ini cuma butuh meraba angin yang bertiup. Atau berpegang kepada tali yang telah dibentangkan, oleh mereka yang telah menemukan jalan keluar.
Dia. Memberikan tangan. Mengerti dengan sangat, manusia telah lama buta. Namun, manusia congkak, apik tangan, menantang kegelapan. Dia-dia yang kecil pun hadir, dengan mata yang tertutup berbicara kepada seluruh manusia, bahwa mata mereka telah mampu melihat cahaya. Bohong! Mereka masihlah buta.
Dia. Siapa dia. Diakah yang besar atau yang kecil. Aku selalu ingin bertanya.
Bumi. Langit. Telah mengenal siapa dia yang selalu aku ingin tanya. Tetapi, mereka semua diam, bisu, menyimpan. Dia, sebenarnya tidaklah pernah asing. Hanya saja, aku selalu terlalu berulang dalam alpa. Karenanya, aku pun selalu berulang tanya: SIAPA DIA?