Sebuah Beban

Masih ingat ceritaku tentang Surat Perjanjian di mana kakakku akan membelikan aku motor dengan syarat aku harus menyelesaikan kuliahku? Jujur, aku merasakan itu sebagai sebuah beban, terlebih ketika beberapa hari yang lalu aku berbicara dengannya.

Saat itu aku berada di mesjid Oman, Lampriet, bersama kawanku di FLP, Ibnu. Dari Dhuhur kami di sana sambil menunggu Ashar. Kira-kira pukul 15.00 lebih sedikit, Anda, kakakku telepon.

Pada suatu pembicaraan, Anda, kakakku bertanya apakah Yahdun (pamanku) ada datang ke rumah? Selidik, ternyata kakakku hendak mengambil kredit. Aku tanya untuk apa? Jawabnya, ya untuk membelikanku motor.

Mendengar jawaban itu, hatiku tertohok. Sangat dalam, namun aku mencoba menyembunyikannya di dalam tawa. Saat itu, aku merasa seperti sebuah beban. Aku merasa menjadi beban bagi orang lain. Aku tidak suka.

Terlebih ketika aku mengetahui bahwa Anda, kakakku mengambil kredit itu dalam jangka waktu 3 tahun. Per bulan dia harus menyisihkan uang gajinya sekitar 900 ribu cuma untuk menutupi angsuran kredit. Aku tahu, kakakku itu cuma pegawai negeri dari pusat. Gajinya pun tidak banyak. Tidak seperti para pegawai provinsi ataupun pegawai negeri kota, tunjangan mereka banyak. Kerja mereka sedikit, lebih sering aku lihat mereka cuma bekerja di warung-warung kopi, santai, untuk kemudian memeras keringat rakyat dari pajak.

Aku tahu kakakku. Dia bahkan bekerja ketika hari minggu. Tugasnya adalah memelihara udang. Jadi, jika hari minggu dia meliburkan diri, tentu udang-udang peliharaannya akan mati. Kontras sekali dengan pegawai kantoran, yang cuma duduk-duduk namun bisa bergaji tinggi, apalagi kalau menjadi pimpinan proyek.

Kadang, hidup berlaku tidak adil jika yang namanya keadilan cuma dari sudut pandang manusia.

Kembali ke cerita. Aku masih merasa tidak enak. Tapi ya mau bagaimana? Motor yang selama ini aku pakai adalah kepunyaan Anda. Awalnya, pembelian motor ini adalah untuk dirinya karena dia bekerja di tempat yang jauh (sekitar 30 menit perjalanan dengan kecepatan 60 km/jam di jalan bebas hambatan) namun karena Anda tidak bisa membawa motor, jadilah kak Iir yang sering menggunakannya. Tapi karena kak Iir sudah ke Bogor untuk melanjutkan S2, maka motor itu pun aku yang gunakan.

Motorku sendiri dulu adalah produk paling lawas di kelas Honda, tipenya Astrea Prima. Motor itu pula yang aku bawa ke Arun, tetapi malah di sana dia mogok. Untung ada orang baik yang mengantarkannya ke tempat aku tinggal. Alhasil, setelah itu, aku berhenti menggunakan Honda Astrea Prima.

Sekarang, nasip Astrea Prima sudah menjadi becak. Motor itu dialih fungsikan ayah menjadi becak untuk mengantarkan air isi ulang. Ayahku cuma pensiunan, jadi kami membuka usaha air isi ulang kecil-kecilan, namanya Depot Air Minum Syifa RO.

Aku jadi serba salah. Tetapi tidak memiliki motor seperti membuat aku cacat saja. Kemana-mana aku selalu menggunakan motor. Aku jarang menggunakan kendaraan umum, terlebih, aku kurang begitu suka berada di dalam keramaian atau tempat yang ada orang banyaknya. Hatiku suka tidak tenang jika sendiri, kecuali memiliki teman yang bisa aku ajak bicara.

Memikirkan hal ini, hatiku semakin terasa sempit saja.