Terhitung, mungkin sudah 10 hari saya sakit demam berdarah. Lupa, kapan mulai sakit ini berjangkit, yang jelas sehari setelah saya memotong rambut dan diskusi soal pluralisme bersama si Baiquni (baiquni yang lain), Irfandi, Abdul Ghaffar, dan Mirza Abdi. Padahal, besoknya direncanakan akan bertemu dengan salah seorang bule untuk mendengarkan sejarah kristenisasi (bukan sebagai ajang debat namun sebagai pengetahuan tambahan tentang perkembangan kristen), tetapi karena sakit saya tidak bisa menghadiri diskusi tertutup tersebut.
Saya baru ke dokter pada hari kedua. Saat itu kepala saya sudah terlalu pusing dan panas tinggi. Mendengar keluhan saya tentang badan yang nyeri, sakit kepala, dan demam maka dokter pun berkesimpulan besar kemungkinan saya teridap penyakit demam berdarah. Namun kata dokter saya tidak perlu khawatir, yang penting banyak minum saja. Oh ya, kata dokter juga, juga trombosit saya di bawah 100, saya disuruh segera opname di rumah sakit.
Jadi, selama sakit saya cuma tertidur di rumah. Mamak sempat bertanya, mengapa tidak ada teman yang menjenguk? Saya sebenarnya tidak ambil pusing mengapa tidak ada yang menjengguk, sudah cukup repot dengan sakit mengapa pula harus direpotkan mengapa orang lain tidak peduli terhadap sakit saya? Ya, saat itu saya tidak ambil pusing.
Ada beberapa sms masuk yang tidak bisa saya balas karena terlalu lemah kondisi badan saya ini, juga telepon yang tidak mungkin saya angkat. Kadang merasa sedih juga, mungkin orang yang menghubungi saya pasti membutuhkan dan mengharapkan bantuan saya namun karena sakit saya terhenti untuk membantu mereka. Maaf yaaa…
Oh ya, kembali ke topik kenapa tidak ada yang jenguk? Saya menduga-duga juga. Tetapi besar kemungkinan karena kehadiran saya tidak begitu nyata di dunia ini. Tidak ada orang yang peduli apakah saya ada atau tidak. Tidak ada orang yang benar-benar care dengan posisi saya. Saya cuma dicari ketika mereka butuh dan cepat terlupa saat mereka selesai dengan kebutuhan akan saya. Itu kesimpulan saya.
Kesimpulan yang lain adalah: apakah saya sakit atau tidak, orang tidak peduli. Sekilas mirip dengan kesimpulan di atas, namun sebenarnya berbeda. Ini lebih kepada sikap sosial yang melihat kedudukan saya tidak memiliki tempat dalam strata sosial. Begitulah.
Terlepas dari kedua kesimpulan di atas, saya sebenarnya tidak begitu peduli dengan orang-orang dan anggapan mereka terhadap saya. Jika dibilang saya tidak memiliki teman, nyatanya ada juga yang berteman dengan saya. Jadi saya merasa nyaman walau teman saya tidaklah banyak. Bahkan teman yang sedikit namun akrab. Saya memiliki teman yang bisa diajak susah seperti Ghaffar, Anton, dan Joko yang sering karaoke bersama atau si Irfandi. Jadi, saya tidak begitu merasa seperti tidak memiliki harapan.
Berita baiknya dari semua ini adalah saya sudah kembali sehat walau kepala saya masih suka pusing dan seperti melayang.