Ruang Hati

Kemarin, aku memiliki sebuah ruang yang kunamakan ruang hati. Di tempat itu aku sering berteduh, bercerita, dan sesekali curhat tentang aku dan kehidupanku. Namun, ruang itu sekarang ketika aku melihat sudah disegel. Sebuah papan bertuliskan: “SEDANG DIRENOVASI” ditulis besar-besar menghalangi pintu masuk.

Aku bingung. Gundah. Tak mengerti.

Ruang itu terlalu sering aku gunakan, ketika hujan sepi datang di sekitar pekarangan jiwaku, ruang itu selalu aku masuki. Hujan sepi terlalu sering datang, dan aku dulu terlalu sering kehujanan. Cuma ruang hati itu tempat aku berteduh, sangat spesial, karena selain berteduh dari sepi, di sana aku juga menemukan kehangatan. Di sana cinta bersemayam, sering sekali memberikanku selimut untuk menghalau semua berkas hujan sepi yang membasahi diriku.

Aku kangen cinta. Aku sayang cinta. Aku mencintai cinta karena cinta.

Aku masih syok. Baru tadi cinta mengunci pintu. Aku mendengar dia menangis, terasa berat suaranya ketika dia mengatakan: “MAAF BENI, RUANG INI HARUS AKU RENOVASI

Aku ingin bertanya, mengapa? Aku lebih memilih diam, melihat kondisi ruang itu. Padahal hujan sepi sedang hebat-hebatnya di luar. Aku kuyup, kebasahan oleh rasa sepi yang mendalam.

Aku memandang ke langit. Dunia jiwaku kelam, maha gelap seujung pandangan. Awan hitam, guntur, hujan, selaksa kekalutan sedang terjadi. Membadai. Sepi tak terhingga. Aku cuma bisa mengigil, ketakutan, tak punya arah.

Aku hanya punya halaman jiwa, namun ruang untuk berteduh cuma di ruang hati. Aku tak punya tujuan selain itu. Halaman jiwa dengan luas seujung mata, namun hanya tempat itu yang aku punya jika hujan sepi datang tiba-tiba.

Di teras ruang itu aku menemukan secarik kertas. Sepertinya cinta luput. Beberapa episode tentang aku dan dia tertulis, sebagian ada di dalam berangkas hati, dan sebagian yang lain aku lihat di kertas itu. Mungkin cinta punya bertumpuk kertas yang dia simpan di ruang hatinya.

Walau hujan, badai, dan seluruh makhluk hitam hati menggelora datang, kertas itu utuh. Tidak sobek dan kuyu. Tetap bagus dan aku berencana menyimpannya dalam brangkasku. Tetapi aku ragu, setujukah cinta?

Aku membuka tas punggungku. Mengambil secarik kertas dan balpoin. Dalam kertas itu aku tulis sebuah kata yang hendak aku selipkan di pintu ruang hati di mana cinta ada. Aku tulis:

TIDAK AKAN KUHAPUS. AKU AKAN MENUNGGU HINGGA RENOVASI SELESAI. DAN AKU AKAN PERGI SEMENTARA UNTUK BELAJAR MENJADI TUKANG YANG HANDAL. NANTI, TUNGGULAH 2-3 TAHUN SETELAH AKU SELESAI MENJADI TUKANG, AKU AKAN KEMBALI. BILA RUANG INI BELUM SELESAI, AKU AKAN MEMBANTU. BILA RENOVASI TELAH SELESAI, MAKA IJINKAN AKU MENJAGA, BERSAMAMU.

Aku menyelipkan kertas itu di depan ruang hati. Agar kertas itu tidak terbang, aku menimpanya dengan batu janji. Aku tidak tahu, apa cinta akan membaca? Aku berharap, dia akan membuka sedikit pintu ruang hati yang sedang dia renovasi dan menemukan pesanku itu.

Sebelum aku pergi. Aku melirik sebentar ke belakang, aku tersenyum, air mataku meleleh. Aku berjalan menembus hujan sepi. Aku mengigil, namun dari kejauhan aku juga bisa mendengar suara cinta jauh di dalam ruang hati. Dia sedang berteriak, sedih yang mengguncang.

Cinta. Tunggu aku. Jika kelak ruang itu belum selesai direnovasi, ijinkan aku membantu.