“Le, do you study poetry?” Confucius asked his son.
“No,” Le replied shamefacedly.
“He who does not study poetry is like a man with his face turned to the wall. Does a man with his face turned to the wall ever see anything beautiful?”
– How The Great Religions Began (Joseph Gaer) –
Puisi, nyatanya diciptakan oleh hati. Saya jarang membaca puisi yang tertuang oleh karena alam pikiran semata. Seringnya, saya membaca puisi-puisi yang ditulis dengan hati. Dan karena sebuah puisi ditulis oleh hati, maka yang membacanya pun harus menggunakan hati.
Semakin sering suatu puisi dibacakan, semakin indah dia. Seolah, antara dua hati sudah semakin mengenal. Pertama membaca, seperti malu tapi mau. Berikutnya membaca, seolah adalah seorang teman baru. Kemudian, lanjut menjadi sahabat lama. Lalu terjadi ikatan hati dan ada sebuah rindu dalam tiap bait kata.
Apa pernah mencium harum puisi? Tiap kata yang terpilih menjadi satu komposisi yang berbeda. Puisi seolah memiliki nyawa. Terkadang, ada puisi dengan harum kecut, ada pula yang mewangi. Untungnya, terlalu banyak mengkonsumsi puisi tidak akan menyebabkan obesitas.
Bacalah puisi. Semoga hatimu akan lembut karenanya.
Kung Fu Tse (Confucius) benar, mereka yang melupakan puisi jarang melihat keindahan. Mereka yang mengakrabi puisi, melihat keindahan dari seluruh semesta. Bahkan pada bagian hal-hal terkecil pun engkau bisa mengambil makna.
Mungkin karena puisi mampu menembus jiwa itu pula kenapa kitab-kitab besar agama ditulis dalam dialek puitis. Quran misalnya, banyak orang menganggap bahwa kitab tersebut adalah kitab dengan sastra yang teramat tinggi. Kitab yang ditulis dalam bentuk bait, berpuisi, dan teramat menyentuh hati.
Kabir pun demikian. Dia yang terinspirasi oleh Ramanand, menemukan Tuhan dalam puisinya. Begitu juga Nanak, yang terinspirasi oleh Kabir, dalam puisi dia juga menemukan Tuhan.
Maka, tidaklah salah saat Kung Fu Tse menasehati anaknya untuk mempelajari puisi. Saat dia berkata, “He who does not study poetry is like a man with his face turned to the wall. Does a man with his face turned to the wall ever see anything beautiful?”
Bagi diriku sendiri, puisi memiliki posisi tersendiri dibandingkan dengan ragam tulisan yang lain. Mungkin, jika membaca tulisan lain yang sedang berperan adalah otak dalam mencerna, namun saat membaca puisi yang berlangsung adalah hati yang sedang membaca. Puisi terkadang pula ibarat makanan. Ada puisi yang engkau rasa enak, ada pula yang tidak. Segalanya tergantung selera.
Mulailah berlatih menulis puisi. Tentu, diawali dengan membacanya.