Apa mereka tahu? Jalan kematian sungguh amat sulit. Terlebih jika engkau mengetahui, setelah kematian sebuah perjalanan belumlah usai.
Ya Rabb, tolong jangan cabut hidayah yang telah Engkau berikan sore tadi. Ketika aku melihat banyak kesakitan dan kematian di sekujur tubuh manusia. Ketika mereka lempang, dadaku teramat sesak. Betapa banyak Engkau memberi bukti: KEMATIAN DEKAT ADANYA
Tadi sore, aku dan kawan-kawan FLP menjenguk Khalis, Kadiv Humas FLP Aceh yang menjadi salah satu korban kecelakaan di Indrapuri. Kami sepakat akan berkumpul di Rumah Sakit Zainal Abidin pukul 15.30 WIB, setelah itu shalat Ashar bersama baru kemudian menjenguknya. Walau direncanakan pukul segitu, baru sekitar pukul 17.00 WIB kami beranjak ke lantai dua rumah sakit.
Ada sebuah peraturan, menjenguk pasien tidak boleh lebih dari tiga orang. Jadi, kami saling bergantian menjenguk Khalis. Sebagian yang lain tunggu antre.
Akhirnya tiba giliranku masuk. Aku, Ferry, dan Hendra Kasmi. Kami masuk bersama untuk melihat kondisi Khalis. Ini kali kedua aku menjenguk Khalis, namun masih saja aku tak mampu menahan duka. Untung saja air mata tidak menetes di tempat. Khalis, kata abangnya telah lebih baikan.
Khalis terbaring lesu. Matanya memejam, hitam masih membalut kulitnya. Kepalanya masih penuh dengan perban, namun kulihat tidak ada lagi selang darah untuk disuplai ke kepalanya. Kondisinya sangat parah pada awalnya.
“Dia membutuhkan lebih dari 12 kantong darah. Darah keluar seperti kencing dari kakinya. Netes deras gitu,” kata abangnya ketika pertama kali aku berkunjung. “Dan kakinya tidak bisa diselamatkan. Tulangnya hancur, sudah seperti tinggal kulit saja.”
Dari Riza Rahmi, aku pun baru tahu ternyata Khalis seorang anak yatim piatu. Kedua orang tuanya pergi dibawa tsunami yang dulu melanda Aceh. Semakin pilu saja hatiku mendengar. Dan sekarang kaki kanannya harus diamputasi. Sungguh aku merasa begitu berat beban yang akan dipikulnya nanti.
Hampir setiap shalat, pikiranmu mengawang kepadanya dan selalu meminta semoga Allah menyembuhkan Khalis dan memberinya ketabahan. Aku yakin, Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi kemampuan hambanya. Aku yakin, Khalis pasti mampu melewati ini dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.
Setelah dari tempat Khalis, atas inisiatip dari Riza, kami berjunjung ke tempat Taufik. Di sinilah aku merasa aura kematian begitu menyesakkan. Di tempat Khalis, karena kondisi dia yang begitu tenang, tertidur lelap, aku tak begitu merasakan sebuah aura kematian. Namun di tempat Taufik lah aku melihat semua beban kematian manusia.
Taufik di mataku seperti meronta. Napasnya satu-satu.
Mungkin kaki Taufik tidak diamputasi, namun kesakitannya terasa sangat. Taufik sulit bernapas. Sengalnya begitu terasa di kedua telingaku.
Engkau tahu teman? Tenggoroknya berpindah. Di situlah ketidaksanggupanku melihat kondisi Taufik. Melihat jakunnya yang begitu susah naik-turun ketika bernapas. Selang-selang oksigen menjejali hidungnya, membantu Taufik bernapas. Sungguh aku begitu ngilu dan sesak. Sekujur tubuhku rasanya diamplasi oleh jamur-jamur kematian berwarna kehitaman, padahal sejatinya kematian tidaklah hitam. Bulu kudukku merinding melihat kondisinya.
Selepas, aku merasa begitu dekat dengan kematian. Aku bagai dalam suatu ruangan di mana semua kematian mensesakinya. Aku berada di pojok sudutnya: Pojok Kematian.
Sepertinya ini cara Tuhan mengingatkan aku, bahwa kematian bukanlah akhir sebuah perjalanan. Namun perjalanan menuju kematian amatlah menyesakkan. Sesuatu yang begitu berat adanya. Aku seperti diberikan hidayah oleh Allah. Hidayah yang menghujam langsung sanubariku.
Apakah engkau merasakan seperti apa yang kurasakan teman?
Aku merasa begitu takut mati. Aku takut ketika aku mati kelak, tak ada persembahanku kepada Tuhanku. Apa yang ingin kupersembahkan kepadanya? Cerita-cerita tentang cintaku. Sungguh tidak, aku tidak ingin seperti itu.
Atau aku ingin menghadiahinya sebuah cerita betapa aku terlalu sering patah hati? Sungguh juga bukan itu yang ingin aku persembahkan. Aku begitu takut. Aku begitu kerdil. Aku begitu tidak ingin mati ketika amalku amatlah minim seperti ini.
Bagaimana jika Tuhan bertanya? Mengapa engkau lebih membela bangsamu, hartamu, dan martabatmu daripada engkau membela agamamu? Apa yang harus kujawab?
Pojok Kematian. Sudut ruang yang bagiku masih sangat gelap dan hitam. Aku ingin, jikaku mati nanti, ruangan itu telah terang dibalut cahaya. Ketika aku tidak sesak napas lagi dan berganti lega.
Note: Khalis, Taufik, aku cuma bisa memberi doa. Bersabar dan ikhlaslah. Tuhan selalu memiliki rencana atas segala sesuatu.