Pengkhayal

“Sumpah, baru kali ini aku menemukan cowo seperti loe Ben.” Sahabatku tiba-tiba berkata demikian saat kami sama-sama sedang menikmati sensasi ketinggian dari puncak gunung, saat kami sama-sama sedang duduk-duduk di tepi jurang.

”Emang kenapa dengan gw sahabat?” Tanyaku tak mengerti.

”Loe tuh tukang khayal! Dan khayalan loe tuh terlalu jauh. Jauh banget!” Lanjutnya.

”Aku?” Tanyaku menegaskan. ”Aku pengkhayal?”

”Yoha… dan khayalan loe tuh kejauhan. Khayalan tingkat tinggi.” Katanya lagi.

”Apa ada yang salah dengan khayalan? Loe tau kan pesawat terbang itu juga awalnya muncul dari khayalan manusia yang ingin terbang. Loe ga lihat sahabat, bagaimana mobil, listrik, lampu, telepon, handphone tercipta? Semuanya berawal dari khayalan. Dari mimpi. Dan apa salah jika aku bermimpi?” Kataku membela diri.

”Ya-ya-ya-ya…” Ejeknya. ”Tapi masalahnya mimpi loe itu terlalu jauh.”

”Lho, apa dijaman dulu orang pernah tau bahwa manusia akhirnya dapat terbang. Terbang seperti burung dulunya adalah mimpi belaka, namun sekarang manusia membuktikan bahwa dirinya mampu terbang. Bahkan mampu menembus angkasa dan mendarat di bulan.” Aku berargumen tak mau kalah.

”Oke-oke… tapi mimpi loe itu kejauhan dengan ilmu loe yang dangkal.” Katanya.

”Loe berbicara tentang dualisme, loe ngomong tentang puncak kesadaran, karma, tao, atau apalah. Padahal ilmu loe tuh cuma sejengkal, kagak lebih dan elo malah ga pantas untuk ngomong tentang itu. Yang elo tahu tentang khayalan loe itu ga lebih dari sekedar kulit. Elo cuma menikmati sampul, bukan isi. Apa yang bakal loe dapat dari hanya sekedar sampul.” Lanjutnya.

”…” aku pun terdiam. ”Hmm, paling tidak aku mendapatkan judul.”

”Hahahahaha… so naif.” Tawanya mengejek. ”Kamu terlalu naif. Aku masih berbaik hati untuk tidak mengatakan bahwa kamu itu tolol lho Ben.”

Gleks, aku menelan ludah.

Kalo sudah mendengar kata-kata pedasnya, ingin rasanya kujatuhkan saja sahabatku itu ke jurang dalam ini. Biar mati dia membusuk di dasar, tanpa ada yang peduli kecuali pengurai yang bertugas membusukkannya. Menjadikannya humus bagi kehidupan tanah.

”Apa kamu sakit hati Ben?” Tanyanya padaku.

”Enggak kok.” Aku berbohong.

”Aku cuma ingin mengatakan kejujuran apa yang aku rasakan terhadapmu. Aku hanya ingin kamu itu real, menjadi sebenar-benarnya Baiquni. Bukan seseorang yang terperosok oleh pemikiran-pemikiran yang masih kamu ikuti secara dangkal.” Ucapnya tegas.

”Aku hanya ingin kamu tegak. Kamu sekarang pincang, terlalu condong mengarah ke titik api.” Lanjutnya.

”Karena pemikiranku?” Tanyaku.

”Karena kebebasan berpikirmu yang kebablasan!” Tegasnya.

”Mungkin aku hanya sedang mencari jati diri sahabat. Aku hanya ingin mengerti, who the real am i. Itu saja.” Kataku padanya.

“Oke, aku beri sedikit bocoran ke elo Ben.” Mimiknya serius. ”Kamu adalah kamu, orang lain bukan kamu dan kamu bukan mereka. Tak perlu lagi mengeja perasaan orang dalam setiap tindakmu. Lakukan apa yang kamu anggap pantas.”

”Apa berarti aku harus menghilangkan empatiku?” Tanyaku tak mengerti.

”Bukan itu. Bukan itu maksudku. Aku rasa kamu mengerti. Kamu telah paham dari awal, hanya kamu masih ragu.” Ucapnya.

Tiba-tiba semua menjadi hitam. Sahabatku itu menghilang bagai kabut, dan aku berkeringat dingin di atas tempat tidurku yang telah basah.

”Kamu salah sahabat, aku sama sekali belum mengerti.”

Dan azan subuh pun berkumandang nyaring…