Pemilu Aceh Di Bawah Ancaman

Habis shalat subuh, di meja ruang tamu aku lihat ada koran Kontras No. 461 Tanggal 30 Oktober – 5 November 2008. Awalnya saya tertarik karena ada berita tentang Syech Puji, seorang yang mengaku kiai yang menikah dengan anak berumur 12 tahun.

Kebiasaan, saya selalu membaca koran atau majalah dari halaman belakang. Dari halaman belakang memang saya temui berita tentang Syech Puji tersebut. Menarik juga membaca kegiatan yang dilakukannya, dan mengatasnamakan Agama sebagai legitimasi tindakan.

Namun begitu menuju ke depan, saya menemukan berita tentang “Pemilu Di Bawah Ancaman“. Lagi-lagi kader PKS diintimidasi oleh kader-kader partai lain.

Huff, memang beginilah Aceh sekarang. Harusnya semua pihak tahu, Aceh tidak seaman yang mereka kira. Ada pihak-pihak yang larut dalam euforia semenjak MoU Helsinki digelar, pihak-pihak yang termakan dengan dokrinisasi tanpa mempertimbangkan baik-buruknya. Sehingga hak-hak pihak yang bersebrangan bisa disepelekan.

Jujur, mungkin jika di Banda Aceh kondisi masih kondusif, namun untuk daerah, kondisi Aceh tidak seperti yang tergambarkan. Pernah saya membaca blognya bang Mustafa, ketika dia berangkat ke Gayo Lues jika tidak salah, dia menemukan pungli yang dilakukan oleh partai-partai tertentu dengan alasan untuk partai bahkan memaksa menempelkan stiker partai mereka di mobil L300.

Sudahlah, tak perlu diceritakan partai apa itu. Yang jelas itu adalah partai yang begitu larut dalam euforia. Saya rasa, jika orang Aceh yang membaca ini sudah mengerti sendiri maksud partai apa yang saya tuju.

Harusnya, para ketua partai atau atasannya bisa memberikan wejangan kepada anak-anaknya bahwa tindakan intimidasi dan ancaman itu sangat jauh dari prinsip-prinsip demokrasi. Sebagai orang Aceh, keagamaan itu lebih dijunjung daripada prinsip kebangsaan, itu yang selalu diperjuangkan oleh indatu, tetapi itu pula yang sekarang semakin menipis dan mulai hilang dari generasi-generasi bangsa.

Jauh sebelum Wali mendeklarasikan kemerdekaan, jauh sebelum itu telah ada Daud Bereueh. Harus diingat, apa yang dia perjuangkannya: Islam. Dan jauh sebelum Daud Bereueh, ada indatu-indatu, para raja Aceh yang berperang melawan Portugis, melawan Belanda, apa yang mereka perjuangkan: Islam.

Keagamaan menjadi ciri khas Aceh. Dan keagamaan jauh lebih tinggi daripada sekedar kebangsaan. Kebangsaan adalah suatu yang tidak bisa diubah, dan seharusnya tidak menjadi dasar dikotomi, tetapi agama adalah sesuatu yang mutlak yang harus diperjuangkan hingga titik nadir.

Ada yang harus diingat, jauh sebelum sistem kekhalifahan, kerajaan mengotori Islam, telah ada sistem yang dijalankan oleh Nabi, yaitu sistem musyawarah, sistem demokrasi. Dan ancaman, intimidasi adalah sesuatu yang melanggar kodrat demokrasi.

Tolong, jangan membuat malu nama Aceh dengan hal-hal tersebut. Tolong, jangan membuat malu nama Aceh jika kekerasan masih menjadi pilihan utama atas setiap tindakan. Kita adalah bangsa bermartabat, sebuah bangsa yang pernah jaya dan terkenal hingga bersanding dengan lima kerajaan besar dunia termasuk Turki Usmani.

Hargai mufakat yang telah dicapai. Bermain bersih dalam pemilu kali ini, besok, dan akan datang. Buatlah nama Aceh harum, bahwa kita masyarakat Islam, masyarakat yang cinta perdamaian, masyarakat yang menghargai demokrasi.