Paradoks Tahun Baru

Aku heran kawan,
Masehi bukanlah budayaku
namun seisi dunia rasanya tergugah
ada beberapa yang memberi aba
inilah tahun ketika kita instropeksi
bagiku teman, hisap adalah setiap hari,
bukan seabad sekali

Engkau lihatlah kawan
langit malam ini cerah megah
bintang-bintang mati diganti petasan warna-warni
tapi aku sakit hati kawan
betapa mereka mudah membeli semua itu
daripada mengulurkan tangannya menderma

Ada apa ini kawan?
aku gundah, semesta gundah
kalut tak berperi
jiwa negeri ini tidak lagi utuh
aku melihat kita telah berganti rupa

Banda Aceh, 31 Desember 2009

Aku menulis puisi itu ketika suara petasan lebih terdengar daripada suara azan. Azan dari setiap mesjid masih kalah lantang daripada suara petasan yang mematikan bintang-bintang, diganti dengan ledakan megah cemerlang di atas langit dengan warna-warni.

Ketika itu aku berada di sekretariat Aceh Blogger.

Kadang aku heran. Aceh dengan mayoritas Islam merasa lebih memiliki tahun baru Masehi daripada tahun baru Hijriah. Rasa-rasa, lebih bermakna 1 Januari daripada 1 Muharram. Aku pun demikian, aku melihat Banda seperti ketika aku melihat malam-malam takbiran. Orang-orang menyemut di jalan-jalan.

Di arena facebook tidak juga ketinggalan. Mereka yang semangat menyambut tahun baru ini. Mereka yang memberi aba-aba: “inilah tahun instropeksi, inilah saat dimana keburukan masa lalu kita tinggalkan“. Dengarkanlah ini kawan, bagiku hisab amal kebaikan itu dilakukan sepanjang hari, setiap hari, bukan setahun sekali apalagi seabad sekali.

Ada satu lagi yang kutakutkan, ketika aku menjadi pengikut suatu kaum maka aku adalah bagian dari kaum tersebut. Inilah hal-hal yang paling kutakutkan, karena: Ini bukanlah hasil dari agamaku, ini bukanlah budaya bangsaku.