Saat motorku hilang. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, mungkin sekitar 2 atau 3 kali lebih cepat. Saat itu, aku merasa sangat lemas. Lututku gemetaran dan kakiku seperti tidak mampu berpijak di bumi ini.
Aku kalut. Aku bingung. Motorku itu hadiah dari kakakku dan sekarang aku telah menghilangkannya. Harus ditaruh di mana mukaku ini! Terlebih, kredit motor itu belum lagi lunas. Oh Tuhan…
Hidup rasanya mendadak berputar dengan tidak menyenangkan. Aku tidak bisa berpikir dengan jernih. Teman yang tadi aku ajak tertawa, si Nurul tiba-tiba menghampiri namun dan saat diajak bercanda, aku tidak bisa. Aku cuma katakan dengan muka pucat, “motorku hilang.”
Aku bingung harus bagaimana. Akhirnya, dengan berat hati aku telepon Ayahku, pertama yang mengangkat adalah Mamak. Saat itu aku bertanya, apakah Ayah ada? Ketika telepon sudah ada di tangan Ayahku, aku katakan dengan suara yang agak bergetar (karena lemas, takut, dan kebingungan) bahwa motorku telah hilang.
Ayahku bertanya di mana posisiku, aku jawab “di Gedung Sosial.”
Setelah menelepon Ayah, satu-satunya yang ingin aku hubungi adalah teman akrabku si Ghaffar. Aku katakan padanya motorku hilang dan tolong temani aku ke polisi untuk memberitakan kehilangan motorku tersebut. Saat itu ternyata dia sedang di pasar dengan temannya berbelanja, namun dia masih sempat ke tempatku berada saat tahu motorku hilang.
Tetapi setiba Ghaffar di lokasi, dia masih sempat-sempatnya bercanda. “Kalau motornya ketemu, apa ada kasih hadiah, seperti di koran-koran itu?”
“Apa? Tidak. Aku tidak tahu. Tidak ada,” jawabku.
“Nanti kita hubungi koran, kalau ada hadiah bagi yang menemukan, bagaimana?” Katanya lagi.
“Aku ga tahu. Kita ke polisi saja ya…” Aku benar-benar sedang tidak ingin diajak bercanda.
Yang aku benci, dia masih sempat berbicara begitu dengan tampang seperti mau tersenyum. Padahal aku saat itu begitu kebingungan, frustasi, lemas, dan segala macam campur aduk menjadi satu. Akhirnya dia memberiku tumpangan untuk ke polisi terdekat.
Tapi saat itu suprise. Saat aku hendak keluar dari area Gedung Sosial, di sebelah kiri, di bagian pos penjaga aku melihat sebuah motor Honda dengan plat motor yang bertuliskan namaku. Sial, ternyata si Ghaffar sudah terlebih tahu tentang hal itu, mungkin itu yang membuat dia senyum-senyum saat mendatangiku.
Walau senang, kakiku masih tetap sangat lemas. Lututku masih gemetar saat itu.
Tidak berapa lama, Ayahku datang. Aku katakan, sudah tidak apa-apa, motornya sudah ketemu. Motorku ternyata diasingkan oleh penjaga keamanan di sana karena kunciku masih tertinggal, mereka berpikir mungkin ini milik staff yang ada di sana, jadi demi berjaga-jaga mereka mengamankan motorku tersebut.
Saat itu aku tidak tahu harus bagaimana berterima kasih.
Kemudian si Ghaffar dan temanku balik ke pasar hendak berbelanja dan aku pulang dengan lutut yang masih gemetaran. Bahkan setibaku di rumah, dadaku masih begitu berdebar dengan kencang. Aku masih mencari arti, apa sebab Tuhan tunjukkan peristiwa ini. Apakah untuk membuatku lebih teliti dan tidak bersikap gugup sehingga melupakan detail kejadian di sekelilingku, atau mungkin ini adalah peringatan untuk setiap dosa yang pernah aku lakukan pada masa lalu.
Terima kasih Tuhan, engkau belum mengambil nikmat motorku itu sehingga aku masih bisa mengendarainya sampai sekarang.